Friday, June 29, 2012

Mozaik dalam Lubuk Negeri


 Pantai, pasir, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang kepergian ayah. Aku terbalut sakit dan trauma. Sakit karena kehilangan yang ku alami.
Daniel Gottlieb dalam bukunya Letter to Sam pernah mengatakan bahwa rasa sakit, bahagia, benci, bahkan cinta adalah emosi yang sifatnya transisional. Emosi itu datang, lalu pergi, sesekali melejit, membakar, lalu padam.
Gotlieb benar, yang aku butuhkan adalah waktu karena emosi terhadap kehilangan mendalam yang aku rasakan belasan tahun yang lalu sifatnya tidak akan abadi.
Tahun 2009 adalah tahun dimana aku merasakan emosi akan kehilanganku  mereda. Tahun dimana aku melepaskan diri dari rasa takut akan laut. Tahun dimana aku memberanikan diri menantang traumaku. Tahun pertamaku menginjakkan kaki di atas pasir pantai Bira. Sungguh, ini adalah sebuah pertarungan besar dalam jiwaku.
Kurasakan, sesekali angin mengusikku dengan aroma garam yang menyengat. Aroma yang kembali menarikku merasakan emosi yang telah padam. Menakutiku dengan bayang-bayang ombak yang menghantam kapalku.
Ada bahagia hati kecilku berbisik, aku hebat telah membuka tirai yang memisahkanku dari sisi dunia terindah. Yang kupuja-puji. Yah inilah, pantai, laut, dan langit. Sisi dunia yang paling menggodaku, yang membuatku jatuh cinta. Di pantai Bira itu, kurasakan diriku jatuh cinta dengan semua fenomena alam yang berparade di depan mataku saat itu.
Kubiarkan kakiku melangkah, selangkah demi selangkah. Aku terus melangkah. Lalu sesekali aku berhenti dan membalikkan badan. Dan kulihat jejak kakiku di pasir-pasir itu. Sungguh aku tak percaya atas apa yang telah kulakukan. Sesekali aku bertanya “aku kah ini?” sulit rasanya untuk menjawabnya. Kubalikkan kembali badanku, menghadap laut dan kembali berjalan. Kulihat angin menggoda ombak dan pasir untuk memperbarui diri. Sungguh anggun mereka bergerak. Dan yah, mereka cantik.
Saat matahari telah duduk di puncaknya, aku dan sahabatku memutuskan untuk mengunjungi Tana Beru. Tempat dimana aku belajar budaya masyarakat di tanah itu. Tempat dimana aku ditarik menyelami rupa budaya, nilai, keyakinan, dan mimpi. Dan tempat dimana kusaksikan orang-orang mencurahkan jiwanya ke dalam sebuah maha karya. Sebuah kapal bernama phinisi.
Kusisiri setiap lekuk badan phinisi yang terbuat dari kayu. Aku takjub dengan keanggunannya. Aku takjub dengan mimpi besar orang-orang di tanah ini yang mereka bangun atas budaya dan nilai yang digenggamnya.
Sungguh phinisi ini cantik. Dua tiang layarnya berdiri dengan angkuhnya. Tujuh layarnya terbentang seakan menantang tujuh samudera untuk diarungi. Lunasnya dihadapkan ke timur laut yang ditopang dengan dua tunas yang mewakili simbol anak adam dan ais. Inilah phinisi yang selama ini hanya hidup dari bayangan miniature yang kulihat di pertokoan.
Seorang punggawa (gelar bagi orang lokal yang dipercayakan untuk membacakan mantera dalam sebuah ritual) menghampiriku, membawaku tenggelam dalam sejarah maha karya ini diciptakan oleh Sawerigading menjadi saksi perjalanannya menuju Tiongkok untuk meminang We Cudai. Maha karya yang lahir untuk menghentakkan lautan, menggetarkan dunia, meninggalkan derap kagum dalam hatiku atas kelahirannya dan atas kisahnya.
Kisah phinisi dalam pemahamanku adalah seperti angin yang datang, pergi, dan disusul dengan angin lainnya. Phinisi yang diciptakan oleh Sawerigading saat itu lahir sebagai karya, lalu menjadi kapal yang menjelajahi dunia, kemudian terberai disapu ombak. Namun, kelahirannya telah menginspirasi dunia dan menyisakan ragam nilai untuk dipadankan dengan budaya, bahkan ritus.
Ritus yang disematkan dengan teguh atas setiap kelahiran phinisi dikenal dengan ammosili dan appasili. Ritus yang dimulai saat gelap, saat jutaan bintang bersinar, mengindahkan langit. Ammosili lahir dari rahim keyakinan bahwa doa, pujian, dan harap adalah senjata ampuh yang memproteksi diri dari musibah. Ritus ammosili lalu dilanjutkan dengan appasili yaitu peletakan lunas di pusat kapal. Appasili sesungguhnya adalah metafora kelahiran anak yang lalu diputuskan tali pusarnya dan dinyatakan siap untuk merasakan dunia dan menjumpa ragam hidup.
Kedua ritus tersebut adalah representase budaya, nilai, dan keyakinan yang dibangun dan diabadikan dalam masyarakat di tanah ini. Phinisi adalah konstruksi mimpi besar orang-orang di tanah ini untuk menyelami rupa-rupa petualangan, mimpi untuk berparade dan berpencar ke arah yang tidak tereka. Karena jiwa dan darah bugis Makassar adalah merantau, phinisi adalah jiwa yang membawa mereka menjalani mimpi-mimpi besar.
Entah karena mimpi besar orang-orang di tanah ini atau karena keteguhan mereka, tak sedikit turis asing yang terkagum-kagum bahkan memesan phinisi dari mereka. Phinisi yang lahir dari nilai, budaya dan keyakinan itu dihargai milyaran rupiah. Nilai yang sepadan untuk sebuah kerja keras.
Pikiranku lalu menarikku untuk kembali mencermati peristiwa-peristiwa dimana nilai-nilai budaya dikesampingkan. Dipandang sebelah mata. Dinilai sebagai sebuah diagnosis, sebuah masalah. Kadang hanya dilirik. Tidak diakui. Dianggap primitif. Lalu ditinggalkan.
Namun phinisi lalu lahir sebagai mozaik untuk mematahkan semua pandangan-pandangan itu. Sebuah mozaik yang membuktikan bahwa budaya yang terkandung dalam lubuk tanah ini adalah lubuk kekayaan yang sesungguhnya. Dan atas kelahirannya, phinisi menjadi arti, nilai, dan bahkan jiwa bagi negeri ini. Sebuah arti yang telah dinilai oleh negeri di luar sana. Dan aku tidak sabar menantikan orang-orang di negeri ku Indonesia merasakan arti menjadi luar biasa dengan menyandang kultur dan nilai dalam lubuk negeri ini.
Sekali lagi kurasakan jantungku meletup-letup ketika kembali kusisiri badan phinisi. Kuakui, kehadirannya menambah kualifikasi cantik tanah ini. Dan phinisi itu benar-benar membuatku merasakan bangga yang tak terhingga menjadi bagian dari tanah, pulau, dan negeri tumpah darahku. 
Sungguh atas nama hidupku, tak ada mozaik seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan berbangga atas budaya, nilai, dan keyakinan yang menjadi roh tanah ini, mozaik negeri ini.

 

Friday, February 17, 2012

root of love


Dia pria kecil—baik perawakan tubuhnya maupun hal yang telah dia lakukan untuk dunia. Dia hanya menikahi perempuan yang dikaguminya dan mendampingi lima anak yang akan memahami cinta dan belas kasih dalam hidup. Dia memaknai hidup dan cinta sebanyak waktu yang dia miliki.
Sejak sepersepuluh abad lalu, perempuan itu sendirian mendampingi anak-anak itu karena dia tak menemukan orang yang tepat untuk bersamanya berbagi cinta. Kehilangannya nyata karena dia telah mencinta dan dicintai dengan begitu dalam.
* * *
Tubuhnya tidak begitu besar, namun entah vitamin apa yang membuat pria itu memiliki cinta yang begitu besar kepada perempuan yang setelah enam tahun baru menyadari cintanya.
Pria itu mencintainya seluas langit dengan seluruh hatinya sementara perempuan itu melihat rasa itu beriringan dengan logikanya. Hatinya tidak merasakan cinta itu karna mata dan logikanya lah yang berperan.
Hingga pria itu melepaskannya, dia merasakan hatinya kosong. Tak pelak, dia merasakan sakit karena kehilangan orang yang sangat mencintainya. Dia kehilangan cinta yang seharusnya dia rasakan di hari-hari kemarin.
* * *
Mencintai maupun dicintai ataupun saling mencintai, kehilangan itu adalah hal yang pasti karena semua yang memiliki keterikatan dengan kita akan pergi. Setiap kehilangan, benar, adalah pukulan yang membawa rasa sakit. Dan rasa sakit adalah luka emosional yang bersifat transisional, dimana kita tidak perlu memaksa diri kita untuk segera sembuh.
Daniel Gottlieb pernah menuliskan bahwa semua emosi yang kita rasakan sifatnya sementara; kita bisa menunggu emosi itu berlalu seperti saat kita menunggu bus. Kita bisa menunggu bus dengan rasa sedih, frustrasi, marah, ataupun merasa menjadi korban, tetapi semua perasaan itu tidak akan membuat bus datang lebih cepat. Kita bisa saja menunggu dengan sabar dan santai, tetapi hal itu juga tidak membuat bus datang lebih awal. Seperti umumnya, bus itu akan datang ketika waktunya tiba. Kita hanya harus memiliki keyakinan bahwa bus itu akan datang.
Perempuan yang hingga kini mendampingi lima anaknya, tak lagi merasakan sedih yang dalam atas kehilangannya belasan tahun yang lalu. Meski terkadang dia merindukan seseorang yang dulu dia miliki, seseorang yang mencintai dan dicintainya dengan begitu dalam.
Dia juga punya luka, mungkin hingga detik ini, tapi tidak ada yang salah dengan luka karena luka itu tumbuh dari kehilangan dan kehilangan itu adalah akar dari cinta yang luar biasa.
Dia butuh waktu lebih banyak untuk benar-benar sembuh karena pikirannya juga terlibat di dalamnya dan karena penyembuhan luka tidak mengikuti keinginan. Luka itu akan sembuh dengan waktu dan caranya sendiri. Namun bagaimanapun juga, luka itu hayalah sebuah emosi. Dan tak ada satupun emosi yang abadi.
Hidup dan cinta yang masih dia miliki dari lima anaknya membuatnya masih bisa merasakan bahagia yang dibutuhkan oleh jiwanya. Dan seperti cahaya, cinta itu mampu menerobos ruang yang kosong namun terbuka.
Yang aku harapkan dari perempuan yang dilepaskan oleh pria yang mencintainya seluas langit itu adalah dia tidak memaksa dirinya untuk segera sembuh. Jika hatinya masih seperti dedaunan retak terisak, kuharap dia sudi menjalaninya hingga di persimpangan jalan di depan, hatinya bisa bersemi dan penuh bunga yang bermekaran hingga ratusan musim yang akan datang.
* * *
Seperti angin, rasa sakit itu datang dan pergi. Dan semua kehilangan dalam hidup ini adalah tatanan yang sempurna untuk menghimpun cinta yang berserakan, untuk mengajarkan hati menghargai kenangan, dan untuk merasakan cinta yang luar biasa. 
Maka beruntunglah orang-orang yang bisa melihat ke masa lalu dan hanya merasakan cinta dan syukur dalam hatinya.

Wednesday, February 15, 2012

taste, laughter, 'n love

Fruit salad
when mango, grape, papaya, 'n melon fuse then season with milk, mayonnaise, 'n cheese to taste..
Here, it's my fruit salad which lets me experience how sweet life is..

made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 





 

 Black Choco Frappio is my luscious drinking, made in a flash. I’m amazed at its smooth, its rich taste.
Blended with chocolate, milk, 'n oreo, it yields a delicious in frothy wineglass. It’s creamy and perfect for balmy nights.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 






 Chocolate Cherry Sparkling

This sparkling cherry looks like a patisserie or dessert star. Covered up by rich cream, this glossy cake tastes like I have a to-die-for it.


 made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani  








 Chocolate Smoothie Icy Cream
Small chocolates sowing on the top garnish the cream covering the chocolate cake.
These chocolates smoothie icy cream may not melt in your hand, but they will certainly melt in your heart.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 



chocolate smoothy icy cream

Dream Cream Chilled Chocolate

This cold and creamy chocolate is a luxurious and tantalizing summer treat.
Cocoa, gelatin, milk are joint when the temperature warms up. Added a luscious finishing touch with whipped cream, It’s a truly combination to die for.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 

where dishes capture memory of taste, laughter, 'n love

Here it’s another version of fried rice. Wrapped with omelette, it is folded around a filling such as cheese, vegetables, meat. To obtain eye-catching texture, the thousand islands are cross-composed and almost cover the rest of the ingredients.

made 'n served by Yuyu Ichsani
photo by Dody Sunjana
Most enjoyably, the entire thing is slightly assorted allowing the cheese to cover it. All of the flavors are balanced wonderfully – all add just enough kick.






This what to expect for beautiful morning: incredibly current, creative, fresh, full and layered flavors in food that just so happens to be sandwich.. It engulfs the mouth in a saucy, cheesy, sheared-carrot mix that’ll have you fighting over the last dollop.

made 'n served by Yuyu Ichsani
photo by Yuyu Ichsani

Sunday, February 12, 2012

a cup of beauty

Kala itu, garis panjang membelah matahari lalu menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala. Dan seperti pasir dan ombak yang tengah memperbaharui dirinya, kulihat perempuan berjejer di tepi pantai. Seperti laut, mereka sibuk. Berusaha menampilkan pose yang dimiliki yang dikiranya akan menambah kualifikasi cantiknya.
Sementara, di belahan dunia lain, seperti dahan-dahan merunduk menekuri nasib, sahabatku duduk menekuk. Kulihat awan di atasnya, mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah.
Dia mengeluhkan fisiknya. Meratapi dirinya. Merendahkan hatinya hingga tanah lapisan ke tujuh. Dia terus saja meyakinkanku bahwa dirinya tidak cantik. Dia selalu menegurku ketika kulontarkan pujian terhadapnya karna dipikirnya aku telah menyebarkan fitnah atas dirinya. Sungguh, yang dia rasakan melampaui putus asa.
Kadang, melihat dirinya, seperti memandang langit setelah senja. Matanya bulat, bersinar-sinar seperti bintang. Di pipinya terukir lesung yang dalam. Dari sirip-sirip jendela pun, setiap pasang mata bisa melihat betapa bersinarnya dirinya.
Namun perasaan malu telah berhasil menutup hatinya menyadari apa yang dia miliki. Hingga yang terlihat bagiku adalah sebuah purnama yang timbul tenggelam di gumpalan awan.
Saat malam diterangi bintang, keteduhan bercerita bagaimana Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan dengan begitulah manusia menyadari bahwa inilah diriku, dan dia adalah dirinya. Yang secara bersamaan, manusia sendirilah yang memberi label atas dirinya dan yang lain.
Karena itulah, pelabelan fisik lalu memaksa kualifikasi cantik tersusun. Hingga, kusaksikan bagaimana kecantikan fisik itu adalah sebuah kecemburuan yang menyeret seseorang untuk mencari rival.
Seperti sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta setelah senja, seseorang takkan lagi terlihat indah ketika jiwanya tak bercahaya. Karena cantik tidak hanya menyejukkan mata di saat terang, tapi juga menenteramkan hati di saat gelap. Karena Tuhan, menciptakan terang dan gelap, maka hanya kebaikan dan kebijaksanaanlah yang bersinar abadi.
Seorang filsuf berkata “harta terbesar seringkali tidak ditemukan oleh mata, melainkan hati lah yang menunjukkan jalannya.”
Seketika, definisi cantik yang kupahami meluas, juga saat hatiku dipenuhi kecantikan oleh orang-orang di sekelilingku yang tidak pernah bisa terlihat oleh mataku. Aku berbahagia karna bisa merasakan kecantikan dari seorang sahabat yang teguh menjaga hijabnya. Dari seorang junior yang kata-katanya mampu mendeskripsikan dunia dari buku yang ia baca. Dari saudaraku yang kehadirannya membawa tawa yang tulus. Dari kakak yang ilmunya mencerahkan pengetahuanku.
Lalu aku paham, kecantikan itu lahir dari semua bentuk dan ukuran, dan tak bisa kupungkiri, aku belajar menjadi cantik dari semua yang orang lain beri dalam hidupku.
Dari semua deretan waktu yang melaluiku, kumpulan detik mengurai rupa-rupa pengalaman. Mengajariku untuk melihat kecantikan yang dipancarkan oleh semua ibu. Ketika remaja, mereka cantik. Hingga kini, saat mereka menua, kecantikannya tidak memudar karna mereka bijak mentransformasikan cantiknya dari wajah ke hatinya.
Dan kala matahari berputar di lengkung langit, matahari berbisik ‘aku tahu jalanku kembali’. Seperti itulah aku tersadar bahwa ada jalan dari mata ke hati yang beriringan dengan intelektualitas. Maka cantik itu juga ketika perempuan mengutarakan pikirannya seperti jutaan bintang meledak, tumpah ruah, mengindahkan langit.
* * *
Setiap manusia memiliki sesuatu di dalam dirinya. Sebuah benda ajaib. Yang dalam semua kondisi, seseorang mengabaikan fisik. Baik malam ketika kunang-kunang berbagi cahaya maupun burung yang berbagi nyanyian di ujung tetunan merah, seperti coklat dalam cangkir, perempuan itu cantik walau hanya menyandang nama atas dirinya dan apa yang dia miliki. 
Karena itu, aku ingin setiap perempuan terbang penuh warna. Bermekaran di setiap sudut waktu. Menari-nari dalam hidupnya. Dan bersinar dalam kecantikannya. 


Saturday, February 4, 2012

tentang bahagia


Aku mendapati diriku sebagai seorang workaholic setelah aku terseret karena tuntutan garis takdir yang tertulis untukku sejak 1999. Aku melibatkan diri dalam dunia pendidikan sebagai pengajar sejak aku kuliah semester dua. Tak pelak, aku mulai merasakan indahnya menciptakan materi dari apa yang kuusahakan.
Menjelang dasawarsa karirku dalam dunia pendidikan, aku sadari jiwaku mulai berisik, pemikiranku lalu-lalang. Jiwa dan pemikiranku lalu kembali menyeretku untuk mengembangkan pengalaman mengajarku, dan aku pun bergabung dengan lembaga kursus, juga menjadi seorang pengajar. Ditambah jadwal privat yang kujalani yang saat ini sudah terhitung delapan, benar-benar mengasah ilmuku.
Jiwaku kembali ramai, pemikiranku berpencar, lalu kudapatkan satu titik dimana aku mendapat titik terang dari keduanya—yang kubutuhkan adalah mencoba menyelami aktivitas lainnya. Dan yang kutemukan adalah menjadi seorang translator di dua lembaga sekaligus menarikku menjadi seorang interpreter.
Apa yang kujalani saat ini adalah tuntutan dari keinginanku untuk memenuhi apa yang jiwaku inginkan. Dan karena pikiranku terus menghasut—yang kubutuhkan adalah aku (pikiran) ingin menyelami hidup dengan ilmu dan membaginya dengan orang yang benar-benar akan menghargainya. Dan mungkin dengan jalan itulah, akan kutemukan bahagia untuk hatiku.
Kesendirian pernah mengajariku—materi itu layaknya emosi yang datang dan pergi, mudah berubah, kadang seperti air yang deras, kadang seperti gurun. Karena itu, yang manusia butuhkan bukanlah materi melainkan ada kebutuhan sosial yang diperlukannya untuk menyemarakkan hatinya dengan bahagia.
Mata seringkali mengajariku—bagaimana orang-orang menjadi bahagia dengan kebaikan dan pertolongan yang mereka berikan.
Pernah dan sepertinya selalu terjadi dalam istanaku. Saat itu, aku memasang wajah penuh rasa kasihan dan mengisyaratkan rasa lapar yang tak terbayangkan. Bunda melihatku dan segera membuatkan cake favoritku, meskipun aku sadar penuh, aku tidak menggambarkan cake itu di mataku.
Tak lama, cake itupun jadi dan entah pada hitungan ke berapa cake itu seolah menguap ke langit. Senyum manis yang berkali-kali lipatnya dari senyumku biasanya terukir jelas di pandangannya dan sedetik kemudian dia melontarkan deretan kata yang manis “tunggu, masih ada lagi”, dan terus mengulanginya hingga semua cake itu menguap ke langit.
Malam kembali membawaku ke peristiwa penguapan itu, dan rekaman ingatanku menjabarkan bahwa ketika bunda mencoba untuk tulus memberi, bunda sepertinya menemukan bahwa keinginannya untuk memberi meningkat berlipat-lipat.
Apa yang bunda lakukan adalah bentuk cinta altruistiknya yang di dalam buku Letter to Sam, Daniel Gottlieb menjelaskan cinta altruistik berarti memberikan sesuatu kepada orang lain karena kasih, bukan karena kita berpikir kita harus melakukannya.
Bundaku paham yang dia butuhkan untuk menjadi bahagia adalah melihat anak-anaknya sukses dan bahagia yang berarti kejadian penguapan sangat mungkin terulang di istanaku.
Namun, setelah menjalani hariku dengan kuliah di program master komunikasi, mengajar di bimbingan belajar, di lembaga kursus, kelas privat, menjadi translator dan interpreter, aku masih mendapati bahagiaku belum lengkap.
Peta hidup seorang filsuf mengajariku—hidup adalah rangkaian masalah sulit yang harus dipecahkan dengan sedikit kesenangan. Yang kutahu, yang menjadi kebahagiaanku adalah menjalani aktivitas mimpi-mimpiku yang ingin kembali kulanjutkan—menjumpa dan bereaksi dengan ragam sosial.
Aku tidak bermaksud mengubah dunia ataupun memaksa menjadi berarti bagi orang lain, namun sejujurnya yang aku inginkan adalah aku ingin melakukan sesuatu yang berarti bagi hatiku, sesuatu yang membuatku bahagia.
Bahagia atas nama hidupku adalah merasakan dunia dengan menyelusup menyelami rupa-rupa sisi anak-anak, menghias diri dengan terus memberi dan berbagi, menenggelamkan diri dalam diri manusia yang putih hatinya, berparade dan berpencar menggali kreativitas, menjebakkan diri dalam dunia dan intelektualias manusia yang hilir mudik membangun kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia lainnya. 
Sekali lagi, atas nama hidupku, tak ada panggung seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan bahagia.

Sunday, January 29, 2012

menyalami dunianya

Sosok pertama yang kukagumi adalah ayahku. Dia bertubuh kecil, putih, alisnya tebal dan hitam, rahangnya tegas. Ayahku seorang pemuda yang gagah dan cerdas. Hidup dalam keluarga sederhana, menjadi batu loncatan yang besar untuknya menjadi sosok yang luar biasa. Hidup saling berdampingan dalam damai dengan masyarakat di sekitarnya memengaruhi naluri sosialnya kian baik.

Di desanya waktu itu, belum ada sekolah karena jejeran tepi jalan dipenuhi rumah penduduk dan kebun.
Berkeinginan besar untuk mencicip nikmatnya ilmu pengetahuan, dia memutuskan untuk meninggalkan desa, rumah dan orang tuanya. Dia berjalan menjauh, meninggalkan jejak di jalan berbatu, menyusup pada titik hilang di setiap pasang mata yang melepas kepergiannya.

Mimpi untuk berpendidikan lebih tinggi, dijalaninya di asrama angkatan darat di ibukota provinsi kelahirannya. Dia bersyukur bisa membaca, diskusi, dan menuang gagasan. Belajar dari buku-buku yang ia pinjam, ia mulai merasakan dunia, menyalami rupa-rupa pengalaman, menjumpa ragam konflik, mereaksi fenomena, hingga memecah misteri—misteri politik.

Keterpukauannya pada politik serta merta menggiringnya ke universitas terbaik di Indonesia Timur waktu itu. Dia mendaki, berkembang, ilmunya mengganda, hidupnya berpencar ke arah-arah yang tidak tereka. Dan adalah keajaiban dia mulai mendapatkan honor dari mengisi kolom tetap di surat kabar dan majalah politik.

Setelah menyelesaikan sarjananya, dia memulai karir menjadi dosen di universitas itu. Dia melebarkan sayap dalam kolom-kolom bacaan, mengarungi padang ilmu, menyapa dan menerjun pergulatan sengit dalam dunia politik.

Berita sajian televisi negeri dan swasta menjadi santapannya tiap pagi, siang, petang, hingga menembus malam. Dengan begitulah dia berjabat dengan politik dan pemerintah. Berpegang pada teori, bersandar pada mazhab, politik disuarakannya dengan lantang.

Dia menjelma seperti tombak—tegap, tegas, gagah, dan dingin. Sosoknya cerdas memukau, tabiatnya baik, tuturnya santun, rupanya memikat. Tak heran seorang perempuan bermata kecil yang kini kusapa bunda terpikat oleh sosok rupawan sepertinya.

Karirnya menanjak seiring polemik dunia politik memanas. Kelompok diskusi—kosindra* yang didirikannya bersama rekan-rekan pengajar lainnya kian  menjadi. Baginya diskusi tempat beradu, menimba, penuh kritik, konflik, membuntu, meluruskan, jatuh lalu bangkit, kadang meletup, hingga saling membakar. Semua kemungkinan pergulatan hidup dan kekuasaan berhias dalam diskusi—diskusi politik. Dan dia, yah, dia makin memikat.

Tepat pada permulaan tahun 1987, dia memutuskan menikahi perempuan cantik bermata kecil itu. Setahun kemudian, aku lahir dan disusul empat adikku berturut-turut hampir setiap tahunnya. Maklum saja, mereka benar penganut paham banyak anak banyak rezeki. Selain itu, angka lima bisa saja angka paling tenar untuk jumlah anak pada dekade itu.
Aku dibesarkan oleh mereka hingga umur tiga tahun. Ayahku memutuskan untuk lanjut studi master di Ibu kota, didampingi oleh bunda, dan ketiga adikku, dan tentu saja tanpa aku. Aku dititipkan di rumah kakek nenekku bersama tante-tanteku yang semuanya adalah mahasiswi. Yang bertubuh besar adalah mahasiswi ekonomi, yang tubuhnya kecil adalah praktisi ekonomi, dan gadis yang berlesung pipi itu adalah mahasiswi kimia. Tak heran, jika aku menjadi anak yang cerdas dalam membaca dan menghitung sejak usiaku baru menginjak angka tiga. Maka, tak salah kata tetua kita yang menyimpulkan—bergaullah dengan orang cerdas untuk menjadi cerdas.

Kecerdasanku terbukti dengan hasil rapor yang kian membesarkan dada ayah dan bunda. Aku bangga bisa membuat mereka berbangga. Aku tersenyum lebar ketika senyum ayah tersimpul ringan berjabat dengan guruku.
Untuk mendapatkan sesuatu darinya ataupun dari bunda, aku dituntut mengukir prestasi. Meja belajar yang kupikir adalah kewajiban orang tua untuk diberikan kepada sang anak ternyata baru bisa kudapatkan setelah aku berhasil menunjukkan angka satu romawi di kolom peringkat kelas di raportku. Begitulah seterusnya, hingga caturwulan berikutnya, berhasil kudapatkan lemari baru untuk memajang koleksi buku sekolahku.

Yah, begitulah dia mendidikku—mendapatkan sesuatu melalui kerja keras. Hingga ketika aku beranjak dewasa aku pun sadar—benar butuh pengorbanan untuk sebuah penaklukan yang besar.

philly berhias rupa-rupa seni

Trotoar dipenuhi tumpukan salju sore itu dan memenuhi pandanganku dan sahabatku-- Jessica (my roommate), Elaine, Zeva, Iman, dan Gufron. Kami berjalan sesekali berlari kecil, berkejaran di tumpukan salju. Kami terus berjalan melawan arus angin yang berpelukan dengan nafas si putih. Kami dicengkeram dingin sekalipun tubuh tertutup. Rempong. Berat dan keberatan menenteng seluruh kain dan bulu hewan di sekujur coat, shawl, gloves, heads, boots, hingga earmuff. Yah, tapi barisan gedung dan deretan salju, dan impian untuk mencicipi bumbu KGC (Kentucky Grill Chicken) menghalau segala rintangan dan cengkeraman dari segala yang menghadang.

Philly dan Amerika bersyukur memiliki Jane Golden, muralist dari Margate New Jersey, yang merangkai proyek seni untuk mengkampanyekan Philly Anti Grafiti. Philly bersinar, dilukis 2600 mural, penuh warna, berlumur kisah. Sungguh detail, dramatik, dan megah.



Setiap Mural meletupkan kisahnya sendiri. Merangkai mimpi. Merefleksikan hidup. Mengalirkan semangat di stiap mili darah. Isu kriminal, kekerasan, kritik, beragam kisah perjuangan, keyakinan dan agama, hingga kisah cinta terlukiskan dalam Mural. Orang-orang ramai melukiskan hati dengan lukisan dan seluruh simbol yang tersirat di dalamnya, lalu menunjukkannya agar setiap orang mampu memaknai setiap inci kehidupan. Bukan hanya dalam sebatas konteks jalanan dan persimpangan, melainkan mencakup konteks manusiawi menciptakan keindahan dramatis bersama di Philly.

Kami masih trus berjalan menapaki salju, mencicipi karya seni Mural, menjalani mimpi menyaksikan orang-orang saling menyinari kehidupan satu sama lain. Mimpi yang tersirat dalam Mural menggelitikku. Mengayuh mata menyelami rupa-rupa kisah. Mengantar mimpi tepat di pusaran keajaiban lalu menenggelamkan hati dalam rasa takjub.

Lampu-lampu jalan berderet menyeret sinar menghias malam. Hiasan malam bertabur. Tepi jalan kaya seni yang membujur di setiap lirik retinaku. Mural dan artisnya berparade tak hentinya dalam pancaran pesona warna.
Sungguh, Philly, betapa menggairahkannya diri’mu’..

menapaki mutiara salju

                                                Temple University, Philadelphia

Malam ini cerah dihiasi lampu jalan, dipenuhi putihnya salju. Area parkir dipenuhi mobil yang ditutupi butiran salju. Ranting pohon pun memutih bak berhias mutiara. Tiupan angin seakan tak berhenti menggelitik setiap inci tubuhku yang tak kututupi. Tiupannya sesekali memaksa menari tak keruan. Aku dicengkeram dingin dalam suhu minus. Kulihat lagi butiran-butiran salju yang trus menggodaku. Butir-butirnya sesekali melompat ke kepalaku, meninggalkan ranting pohon yang kering.

Jalan-jalan besar diselingi jalan-jalan besar lainnya tepat di atas jalan yang kupijak. Aku menelan ludah, seketika kusadar masih ada jalan lagi di bawah tanah yang kupijak. Bus yang mengantarkanku hingga ke Temple University Philadelphia membuka pintu sejarah bagiku di tempat bersejarah ini. Chirstianity dan perjuangan pendirian Grace Baptist Church yang dipimpin oleh Dr. Russel Conwel dimulai dari basement Conwell Baptist Temple. Gedung-gedung pencakar berhias lampu menghias kota Philly, ditimpali perumahan orang-orang kulit hitam yang melukiskan wajah keluarga mereka di setiap tembok luar rumah. Aku menyaksikan kasih dipaut dalam goresan artsitik. Sungguh kota ini kaya seni.

Bus mengantar retinaku menyaksikan tembok-tembok gedung universitas. Tembok yang tepinya didesain bak kastil. Kastil yang kusentuh hanya melalui film Hollywood. Kusaksikan bendera-bendera merah bertuliskan huruf T, simbol universitas berbaris menghias jalan. Bendera itu menari-nari ditiup semilir angin. Kadang berjingkrak. Melipat. Lalu sesekali membentangkan merahnya dengan utuh.

Anak-anak tupai melompat-lompat kegirangan. Berkelompok mencari rumah. melarikan diri dari cengkeraman dingin. Sementara kami tak hentinya berjalan dengan tawa yang terus membahana menyaksikan salju yang kami tapaki. Hingga tak sadar, sepatu yang kukenakan kini berubah warna, dari biru menjadi putih. Kurasa jari-jari kakiku kaku, memintaku untuk segera menghangatkannya. Tapi putih ini tak hentinya menarikku trus meninggalkan jejak menapaki kelembutannya. Sungguh, aku tak sadar aku sedang menjalani mimpi-mimpiku.

Terima kasih, tuhan.. atas segala keajaiban yang trus dituliskan untukku. Aku tak sabar menuliskan sederet keajaiban lainnya. Aku tak lagi menjelang mimpi. Aku sedang menjalani mimpi-mimpi itu.

                                     Park in Conwell Inn and Temple University

doa di tengah deburan


Sebuah benda bulat merah jingga muncul perlahan di kaki langit. Pagi merekah. Dalam euphoria akademika yang memesonaku, kulangkahkan kaki hingga ke ruang dimana akan kubagi ilmu yang kupunya kepada mereka yang kusaksikan dengan jelas semangatnya terekstrapolasi untuk menanjak, yang menjebak hidupnya dalam menerima ribuan ilmu, yang membua pikirannya untuk bertarung meraih mimpinya.
Di sinilah aku saksikan manusia-manusia yang terus menghirup candu ilmu, yang wajahnya merona-rona menantikan mimpinya. Yang kuajarkan pada mereka adalah bahasa inggris, namun semangat, keteguhan, dan keyakinan yang mereka miliki mengajarkanku banyak hal tentang mimpi yang luar biasa dan apa artinya menjadi manusia dengan mimpi yang bertaburan. Mereka telah menjadi guru yang baik bagiku dan menikmati waktu bersama mereka adalah pengalaman yang bergelimang anugerah.
Lebih dari yang kuajarkan pada mereka, aku ingin mereka mengecap setiap sensasi yang dihadirkan oleh mimpi dan harapan dan ingin kubagi bagaimana kebahagiaan menghampiri ketika jiwa penuh mimpi dan seraya alam semesta berdoa atas mimpi-mimpi itu.
 Dalam kelas, menjadi seorang pengajar, aku berikan dasar ilmu sebagai landasan bagi mereka untuk berpijak, kubagi cerita tentang mimpi-mimpiku dan seberapa kuat aku berpegang dan memperjuangkannya. Dan di akhir pertemuan, kuberikan mereka sayap untuk terbang memikirkan dan merasakan apa pun yang mereka inginkan serta menjelajahi dunia yang mereka punya.
Satu mimpiku yang mereka tahu adalah aku berniat menyelesaikan skripsi dan meraih gelar sarjanaku Maret tahun ini. telah kucurahkan semua semampuku menekuni skripsi karyaku sejak desember lalu. Dan hingga Januari siang ini, kurasakan euphoria wisuda kian menyelimutiku.
Namun entah seperti apa awalnya, kepedihan seakan tercetak di keningku. Jantungku berayun-ayun. Hatiku hancur dihantam beruntun mendengar ucapan front officer menuturkan deretan kata yang seketika membuatku ambruk ditumpuki sesak. Notebook yang kupercayakan kepadnya dan Security untuk dititipkan ternyata telah hilang.
Kakiku tak teguh, bergetar. Pipiku basah oleh airmata, berkilat-kilat. File-file skripsi yang akan kuajukan untuk mengejar ujian bulan Februari, dan form beasiswa studiku yang hendak kukirimkan minggu itu telah lenyap. Aku terguncang menyadari mimpiku runtuh. Paru-paruku tercekat. Jantungku ditabuh. Hatiku dikepung sakit.
Kurasakan duka dalam hatiku. Mendung seakan menutupi separuh langit. Hujan akan tumpah. Yang menjadi pikirku adalah bagaimana aku melanjutkan cerita hidupku kepada siswa-siswaku di tengah diri yang kini merunduk setengah redup menekuri takdirku.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang di hatiku. Dan seperti laut, aku diam hingga kuharap waktu yang akan menyamarkan sedihku.
                                               * * *

Tak hentinya kutangisi hidupku hingga kusadari ada seorang sahabat yang hatinya juga menangisi hidupku. Rasanya itulah yang kemudian membuatku kembali mengekstrapolasikan kurva semangatku, melanjutkan mimpiku, dan kembali bertarung. Kurasakan kembali mimpiku sebenderang bulan malam ini.
Mimpi-mimpi itu terasa kuat menggerogotiku lalu kusadari, kehilangan laptop benar bisa meruntuhkan mimpiku saat itu. Namun, dengan jiwa penuh radang ini kuberanikan diri untuk bangkit. kubangun reruntuhan mimpiku kembali di tengah ketidakmungkinan. Kuhaturkan doa-doa di tengah deburan yang menyambar. Ketika ku menyusut hingga anjlok, aku mematung hingga mimpiku kembali melintas dan berkelap-kelip di ujung khayalku. Hatiku meriah membayangkannya. Kudesak diriku menerobos ketidakmungkinan itu. aku terus terhuyung mendekati mimpiku. Hingga keajaiban bersekutu dengan takdir menghadirkan 'wisudaku' di depan mata.
Kupahami betapa sempurnanya Tuhan menyusun potongan-potongan mozaik hidupku yang sedetik kemudian kurasakan bentuk baru dari diriku.
Benar, aku punya mimpi, namun ada banyak hal di luar dari diriku yang juga berhak untuk tampil dan menari-nari di dalamnya. Namun aku yakin Tuhan selalu menyimak apa yang diisyaratkan oleh sebuah benda ajaib dalam diri ku. 
Dan dengan bisikan mimpi selembut sutra dari Kashmir, berbuat yang terbaik di mana aku berdiri sejak Januari dan dengan didampingi oleh sahabat setiaku yang jiwanya seluas langit, aku menyambut gelar sarjanaku di bulan Juni setelah sebagian dari diriku mengkhianati sebagian diriku yang penuh ketakutan dan kepasrahan.

Bunda......


Tidak banyak cerita tentangnya dalam hidupku. Ketika aku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, dia meninggal di hari kedua hari raya Idul Fitri. Aku masih sangat kecil untuk hidup hanya bersandar pada bunda. Bunda yang sungguh setia cinta dalam hatinya. Bunda yang hidupnya jatuh hati pada setiap sendi hidup Ayah. Bunda yang setiap suku katanya adalah gambaran seni kasihnya juga pada Ayah.
Senyum bunda manis tak terperikan. Kepalanya dibalut jilbab menyiratkan kemenangan bagi dirinya sebagai perempuan atas agama, iman, dan dunianya. Bunda lebih dari segala-galanya sang rembulan, permata hati. Hidunnya tinggi. Bibirnya tipis. Walau hatinya tak selalu semanis malaikat, bunda menggambarkan kecantikan berlipat-lipat.
Hati bunda masih tertusuk duri. Hubungan kami tergambar dari sorot mata dan gerak-geriknya yang sedingin es. Semangatku tiarap. Aku gelap mata memandang masa depanku dan adik-adikku. Aku hilir mudik lalu terjepit mencari perhatiannya.
Aku berketetapan hati menulis sebuah surat untuknya, mengakhiri kemacetan yang menjebak hidup kami.
Mencoba menyentuhmu, Bunda..
Jalan hidup itu lurus, biasa menikung, kadang menanjak, bisa menurun, mengambang, mengesankan, dan ujungnya bisa menikam. Hidup pastinya berliku, dihiasi deretan kebahagiaan berselang-seling dengan kepedihan garis takdir.
Bunda bisa saja memilih untuk runtuh dan padam, namun ada kami bersedia memantik bara untuk saling menguatkan. Kami terapung-apung dalam rengkuhan hidup penuh lautan pilu. Kami butuh Bunda mengantarkan kami ke dermaga.
Cinta kami untukmu, Bunda. Selalu.

Matanya berair hingga kulihat serpihan-serpihan cahaya melesat-lesat di bola matanya. Lalu air matanya meleleh. Dia merubungku penuh kasih. Dia terharu, hatiku gemuruh. Nafasku macet. Rasa pahit mencengkeramku seperti mengunyah getah, lalu tiba-tiba Bunda datang menyuguhkan madu untuk memulai kebahagiaan, lalu menggandengku untuk belajar bersama menguatkan diri.
***
Bundaku tak ubahnya meletupkan cita-cita agung pada ku, Adela, Uga, Arez, dan Mikha, saat batinnya mendidih sekalipun. Seringkali bunda mendapati nenek sedang memarahi kami karena tak satupun dari kami yang tergerak tangannya melakukan pekerjaan rumah tangga. Bunda lalu datang menghampiri dengan sayap-sayap malaikatnya berkata “mereka tidak kubiarkan untuk melakukan pekerjaan itu karena tugas mereka menjadi anakku adalah menghirup candu ilmu. Aku ingin mereka berkompetisi dengan anak-anak lainnya yang masih memiliki ayah. Tak akan hentinya aku membisikkan mimpi di telinganya hingga mereka mampu buktikan bahwa kehilangan seorang ayah tidak membuat mereka kekurangan pendidikan. Kehilangan ayah telah menjadi beban berat bagi mereka menghadapi dunia, jadi tak akan ada pekerjaan rumah yang kubebankan padanya. Anak-anakku butuh waktu dan kerja keras untuk mengukir prestasi dan menjadi anak-anak yang sukses. Sekuat tenaga aku berusaha memenuhi tugasku menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka karna aku tak ingin mereka merasa berbeda dengan yang lain hanya karena mereka tak punya ayah. Dan akan kucukupkan kasih dan sayangku hingga mereka merasa hidup mereka tetap sempurna.”
                Hati bunda benar-benar keras seperti tembaga. Kata-katanya berkilauan walau kusadar setiap katanya tersirat luka yang dalam kehilangan ayah. Kata-katanya benar-benar menusuk pori-pori. Nenek lalu dihantam penyesalan yang membuatnya menundukkan wajah lalu pergi meninggalkan kami. Aku yakin apa yang kurasakan dan pikirkan sama dengan apa yang memenuhi hatinya saat ini. Haru tak dapat kutahan melihat betapa putihnya hati bunda. Aku bersumpah untuk menjadi anak yang baik dan cerdas yang seluruh cinta kubentangkan padanya sepanjang rentang waktu dan ruang-ruang.
Bunda mengajariku menyusun mimpi-mimpi, menjadi manusia yang moralnya terus meningkat, bunda menumbuhkan sayap-sayap kecilku, menyatukan kepingan-kepingan hidupku menjadi sosok mandiri. 
Kekuatan bunda menjalani kenyataan mimpi berpijar-pijar dalam istana kami. Kadang serentetan bahasanya menampar hati, sepelemparan batu kesal memercikkan riak-riak keemasannya. Saat marah, nada-nadanya riang bereskalasi. Ketulusannya tak terukur. Kasihnya terburai-burai, bertumpah-ruah. Bundaku bergelimang pesona menandingi konstelasi galaksi.
 

berlinang mimpi dan keajaiban


Malam itu indah. Bulan muncul lalu bersembunyi di gumpalan-gumpalan awan. Selempang sinar lampu jalan jingga menyinari jalan. Hatiku penuh suka. senyumku mengambang. lesung mungilku pun mengintip-intip bahagiaku. Wajahku merona-rona. Yaa, itulah yang slalu kurasakan setelah bertemu dengan siswa-siswaku.
Sahabatku yang jiwanya seluas langit itu, tak lama lagi akan menampakkan matanya yang entah mengapa selalu saja berbinar-binar melihatku. Yang entah mengapa pula, aku demam panggung tiap kali melihatnya.
Jalan kian ramai mengiringi hatiku yang kian meriah menantinya. Namun tak lama kemudian, handphone ku bergetar, rupanya bunda memintaku membelikannya buah di supermarket yang terletak di seberang tempat ku mengajar. Kulihat jalan berbinar-binar. Menyilaukan mataku. Suara klakson dan mesin kendaraan beradu.  Pengendara malam itu, sungguh liar yang membuatku takut untuk menerobosnya. Jalan di hadapku samar. Kuteropong jalan, kusipitkan mata. Setiap kumajukan satu langkah ke depan, kususul dengan mundur tiga langkah. Tuhan,, Aku sungguh takut!
Entah mengapa, tiba-tiba, aku merasa Tuhan telah menjawab doaku, sungguh cepat! Keajaiban menghampiriku, keberanianku membuncah. Terus kulangkahkan kaki ku, sungguh cepat. Yup, satu langkah lagi. Tak henti-hentinya, kusisipkan doa dalam takutku itu. Dan, suatu keajaiban lain menghampiri. seseorang yang mengendarai motor berhasil menyalip kendaraan lainnya yang sedetik kemudian menghantam kaki kiriku dan aku pun menjalani 'keajaiban' lainnya.
***
Darah segar mengalir deras, membanjiri sepatuku, melumuri kakiku. Mataku dinaungi air. Kurasakan badanku berkibar-kibar. Aku merintih keras semampuku di tengah jalan penuh riuh. aku mulai kerut. aku menjelang rubuh.
Aku dilarikan ke rumah sakit yang sejam kemudian kudapatkan belasan jahitan di tumitku.  Aku terus merintih kesakitan, semakin sakit ketika kubayangkan aku tak bisa berjalan normal untuk beberapa minggu ke depan.
Kulihat hidupku miris, wajahku murung. Tinggal di rumah, memelototi deretan jahitan ini membuatku terperosok dalam sekali. Aku tak ingin menghabiskan hariku dengan terus bermimpi tanpa menjalaninya.
Tak cukup seminggu kuhabiskan waktu di kamar, aku bertekad untuk kembali mengajar dan melanjutkan aktivitasku. Tentu saja, tak ada yang sepakat dengan keputusanku itu. Namun apa dikata jika hati telah mengeras seperti tembaga.
Keesokan harinya, bunda membelikanku sebuah tongkat yang dengan tongkat itulah aku berlatih melompat sepanjang malam.


***
Aku bahagia bisa kembali merasakan naik motor bersama sahabatku. Hatiku kembali meriah, wajahku berangsur cerah, rambutku kembali tersibak diterpa angin dan dilumuri sinar dan bau mentari.
Bahagiaku terasa menanjak ketika kuayukan tongkatku memasuki pintu kantorku seraya melompat-lompat dengan tongkat yang kgenggam kuat dengan tangan kiriku. Aku lalu dikerumuni, diserbu pertanyaan oleh siswaku dan ketidakpercayaannya melihatku berdiri di hadapannya dengan tongkat yang sama sekali tidak menurunkan kualifikasi cantik dari diriku.
Kukatakan pada mereka, mengklasrifikasi semua kejadian yang menimpaku dan menjelaskan bagaimana aku lalu digerogoti semangat berlipat-lipat untuk kembali berbagi bersama mereka:
“Motor itu bisa saja melemparkanku ke trotoar, menghadiahiku luka, dan menyematkan trauma yang dalam. Tapi, sejak itu, setiap kali aku jatuh, hatiku merasa Tuhan menitipkan alasan padaku untuk meyakini 'aku masih bisa bangkit.'
Namun, kusadari, bahkan ketika aku berjalan dalam rangkaian yang memeras air mataku, kuyakin itulah keajaiban Tuhan meskipun secara konotatif. Dan, saat ku telah melaluinya, sepertinya Tuhan merangkai keajaiban baru secara denotatif untuk ku.”

Seperti kumbang berkilauan terbias warna warni daun maranta, kusadari hidup itu tersusun oleh serpihan-serpihan suka dan duka yang mewarna. Duka yang mengharu biru dan suka bak lazuardi menyala-nyala adalah tatanan yang sempurna untuk menguatakan fondasi diri hingga kusadari hal-hal yang membuatku jatuh ternyata juga membuatku kuat. Dan itulah rangkaian keajaiban dari Tuhan untuk terus menyempurnakan hidupku.

disesaki cinta

Bunda menolak untuk tinggal bersama nenek dan memutuskan untuk membesarkan aku dan adik-adikku di rumah kami. Kuterpaku melihat kecintaan bunda pada ayah yang membuatnya berani menjalani perannya sebagai orang tua tunggal dengan lima anak.

Setelah senja memberi jeda bagi mentari untuk kembali menenun selendang jingga di ufuk  timur, Aku, bunda dan keempat adikku kembali ke Makassar melanjutkan hidup. Sepanjang perjalanan, hati kami terus menyatu dalam kelam dibalut kabut, mencoba kekar dengan hati penuh memar. Butuh waktu empat jam untuk sampai di rumah, tapi rasanya butuh bertahun-tahun untuk bisa hidup normal di rumah tanpa ayah.
                                                       ***
Kami tiba di rumah malam itu, bertabur tangis, berbasuh pedih. Kami berpencar ke kamar masing-masing, berpetualang dengan segala kesedihan, berpeluk duka, berselimut.

Kudengar rumahku hening, kurasa hati mereka ramai menangis. Kukenang kembali semua tentangnya, tulisannya, semangatnya, dan tentang perahu itu. Kurasakan rayuan ombak memaksaku menari dalam air, aku digoda arus, dihembus angin dari riak-riak lautan. Seketika luka kembali membuncah dalam hatiku
                                                       ***
Mainan pintu bergerak-gerak mendecit dibelai semilir angin. Mentari mengitip di ufuk timur, disoraki nyanyian merpati. Pagi yang pilu. Aku masih dalam lingkar duka. Bunda masih berputar-putar dalam pedih. Hatinya disesaki cinta, namun cintanya pergi. Aku menerjunkan diri menyelami tindakan ayah menyelamatkan Reza. Dia menyematkan seluruh kasih tanpa memperhitungkan hidup. Aku menciut dicengkeram penyesalan, diserang ribuan pertanyaan—mengapa tak kusegerakan diriku untuk belajar membalas kasihnya, mencintainya. Nafasku berat. Tangisku berderai. Batinku tersayat.

Kubuka lebar hatiku menerima kepergiannya. Aku ikhlas melepasnya. Aku berjanji seumur hidupku akan selalu kusertakan kasih dalam tiap langkah, kutitipkan doa dalam tiap shalat. Semoga Allah memuliakannya di sisi-Nya. Tak lama aku terdiam. Dan belajar untuk memaknai semuanya. Belajar untuk bersyukur atas apapun yang terjadi padaku. Aku yakin Allah sedang berusaha membentuk dan menyempurnakan diri dan hidupku.

Kulihat bunda bersimpuh dalam doanya. Melihatnya, aku lalu berjanji akan memancarkan seluruh kasihku padanya, merengkuhnya sebagai hartaku yang paling berharga.

Aku mencintaimu, bunda. Sungguh mencintaimu. Begitupun dirimu, ayah.

..........lalu, dia pergi

Hari ini cerah. Langit biru. Kami sumringah. Tawa membahana di pantai pasir putih itu. Gunung membentang di hadapan hamparan laut. Tebingnya menjulang. Aroma garam menyengat. Kami ingin melaut.

Sungguh perahu itu mungil untuk mengangkut empat belas orang. Kami melawan arus, bergerak dengan kekuatan dua dayung tanpa mesin. Tawa meluap namun pikirku aneh, rasaku mengganggu batinku. Aku akui begitu takut. Takut berada di air.

Sesosok makhluk aneh di air menyelam di sebelah perahu kami. Begitu detail aku melihatnya, berbulu panjang, tubuhnya lonjong, berwarna coklat kehitaman. Rasa takut memenuhi dadaku. Dadaku menggembung. Nafasku tersendat. Mataku membulat.Ketakutanku melihat makhuk aneh itu membuatku tak megacuhkan sekelilingku.

Tak lama kemudian,laut mengamuk,  ombak menghantam, perahu kami pun terbalik. Kusadari diriku telah berada dalam air dan kami teriak namun tak mengeluarkan suara sama sekali. Yah, kami tenggelam, terbuang-buang dalam desakan air.

Kucoba berenang mencapai dasar laut, tapi tak bisa. Kucoba untuk naik ke permukaan dengan segala ketidaktahuanku dalam berenang. Kucoba menggerakkan kaki dan tangan, mengeksplor semua gerakan yang aku bisa. Hingga keajaiban hadir membawaku bertemu kembali dengan keluargaku di permukaan air. Kami berpeluk di perahu kami yang terbalik. Allah maha kuasa menyelamatkan kami semua. Padahal, dari tujuh belas orang yang berada di perahu, hanya tiga orang yang bisa berenang : ayah, tante, dan iwan—supir pamanku.

Belum selesai kami bernafas panjang, ombak kembali datang, menghantam perahu kami. Kami teriak sekencang-kencangnya. Kami bergerak sebanyak-banyaknya, berenang sekonyong-konyongnya, dan beserah pada air hingga membawa kami kembali ke permukaan. Tak lama, kami berhasil melihat kebesaran Allah kembali. Kami kembali berpeluk, berpegang kuat pada perahu, dan serentak berteriak meminta pertolongan. Kami menangis sejadi-jadinya.

Kuperhatikan adikku : Ila dan Mika, tanteku : Api, Uccank, dan Arfa, pamanku Ayah, dan sepupupku : via, ari, dan riah. Sementara sisanya, entah dimana. Kucoba berbalik, dan kusaksikan tebing menjulang tinggi, pepohonan menari-nari dirayu angin pantai. Aku pasrah ketika kusadari tak akan ada bantuan yang akan datang. Ketakutanku meletup-letup. Aku berurai peluh. Kami tak kan terlihat, kami terguncang bebas di balik tebing-tebing itu. Tak akan ada yang melihat apa yang sedang terjadi—menimpa kami.

Sungguh Allah Maha Kuasa, kuasa membalikkan perahu kami sekali lagi, kuasa mendatangkan ombak, menghantam kami. Buih-buih ombak menyapu harap, arus mengusap air mata, dan ujung perahu menghantam otak kecil ayah. Dia mengapung, terlentang di lautan. Mulutnya berbusa, wajahnya memutih, matanya menutup, kami teriak, menangis, teriak, terisak. Sungguh Allah Maha Kuasa dan kami tak kuasa.
                                                       
Pantai Dato', West Sulawesi
















***

Entah siapa yang berinisiatif mendaki tebing tinggi itu, dan menyaksikan kami menjalani takdir terbuang-buang di lautan. Pertolongan tiba. Menolong ayah yang tubunya sudah kaku. Kami dibopong satu persatu seperti ayah yang menyelamatkan nyawa adikku Reza tepat sebelum otak kecilnya dihantam perahu. Kusaksikan tubuhnya dibalik, kepalanya di bawah, kakinya di atas, tubuhnya diguncang-guncang, air mengalir dari mulutnya bercampur busa. Aku terisak, teriak memanggilnya hingga aku tak sadarkan diri, aku telah berada di sebuah bangunan bertembok putih.

Kami menunggu kabar tentang dia di mobil. Keluargaku pusing, berlimpah duka, berlumur takut. Takut jika terjadi sesuatu padanya. Kami mencintainya, ingin terus bersamanya. Bunda mengusap-usap kepalaku dan adikku sembari menjelaskan betapa paniknya dia menantikan kami kembali dari berperahu lebih dari tiga jam. Tak kusangka kami bisa bertahan lebih dari tiga jam terombang-ambing di laut. Kulihat dia merasa lega melihat kami kembali, tapi ada ketakutan besar menyelimutinya.

Ketakutannya menjelma kepedihan ketika nenek melambaikan tangan ke arah kami. Lambaian itu mengisyaratkan ayah telah kembali ke sisi-Nya, pergi dari kami, meninggalkan hari bersama kami—bunda, aku, dan keempat adikku.
Langit runtuh, hujan mengguyur, petir menyambar, guntur meracau, semuanya menghantam kepedihan kami.
Aku berlari turun dari mobil, berlari memastikan isyarat nenek. Di kamar bertembok putih itu, tubuhnya dibaringkan, diselimuti kain putih, diiringi tangisan. Aku menatapnya dalam, bibirku terkatup, mataku berair, dadaku sesak menggerutu pada Tuhan yang telah mengambilnya dariku, dari kami.

Nenek menarikku keluar, tapi aku menolak. Paman datang membantu nenek membawaku keluar, namun aku tetap bertahan untuk berada di dalam, aku teriak memanggilnya dan menangis sekencang-kencangnya hingga kurasa tubuhku melemah, dan aku kembali tak sadarkan diri.

Keesokan harinya adalah hari pemakamannya. Mobil yang kami gunakan bergerak membawanya menuju kampung halamannya. Di sanalah dia akan dimakamkan. Di tempat itulah, kami kembali mengeluarkan berliter-liter air mata, menyaksikan orang beramai-ramai menutupnya dengan tanah. Hingga nisannya tertancap, ribuan duri menancap luka, jutaan duka menghimpit hati.

bersimpul denganmu

Butir-butir air menghujam di langit malam hari itu. Aku bediri bersandar pada dinding di pelataran mall. Aku terpercik air hujan, terpanah melihat sorak sorai anak-anak jalanan. Mereka berlari, berteriak, bercanda dan sesekali suaranya bertarung melawan guntur yang sungguh menakutiku. Saat langit dibelah dua oleh kilatan petir, guntur menghantam telingaku, seketika lampu mati, dan mereka pun berteriak kencang, sungguh pekik. Mereka adalah anak-anak berpayung besar, berharap besar mendapatkan harapan besar. Mereka penuh warna mewarnai malam itu dan malamku.

Dunia menawarkan banyak hal yang besar untuk orang-orang yang besar. Kepada mereka, dunia menghadiahkan beribu hal kecil, berjuta rasa. Dunia mereka sungguh luar biasa. Aku terpukau melihat senyum anak itu, sesekali datang menggodaku, menatapku dengan genit lalu melemparkan senyum. Aku bingung, tersipu, lalu kubalas menatap setiap inci senyumnya, dan aku mengaku tergoda.

Kuputuskan untuk menanggapi tatapan dan senyumannya. Kuperkenalkan diriku dan kubiarkan waktu bergulir seiring kisah mereka. Anak-anak itu bernasib sama dengan anak-anak yang kutinggalkan di trotoar Merah Putih*. Mereka seolah mengutuki hidupnya tak bersekolah, menghadiahkan jalanan sebagai ruang belajar menantang dunia yang tidak mengacuhkannya.

Aku teriris ketika ketakberseragaman mereka adalah alasannya. Aku sumringah ketika niat untuk mencicip pendidikan diutarakannya. Aku kegirangan merancang pertemuan di tengah hujan di pelataran ini kembali di hari berikutnya.
Tengah menanyakan hal yang ingin mereka pelajari dan tengah memikirkan teknisnya, Aco, salah seorang dari anak itu, berteriak mengalihkan dunia kami.
“oey, mau ko lihat artis?”
Sedetik kami mengikuti liar matanya mencicipi keseksian para gadis yang berdiri tepat di sebelah kami. Spontan anak-anak yang lain bersorak meneriakkan kekaguman mereka, mendekatkan diri dengan tawaran dunia yang lazim mereka saksikan di televisi. Sesekali bersiul tepat di samping telinga para gadis yang kuyakin membuat gadis-gadis itu risih diolok oleh anak-anak itu.
                                                                                     ***

Candaan mereka membuatku memanjatkan doa dalam hati agar hujan tak segera reda. Aku masih ingin menikmati senyum polos itu. Aku terpukau lalu kurasa kumulai terjebak untuk menyalami dunia mereka lebih jauh.
Melihat mereka, aku berpikir bahwa semua hal kecil yang terjadi dalam hidup bukan sekedar kebetulan. Yang mereka hadapi adalah menurun dari takdir orang tua mereka yang kurang beruntung dan adalah sebuah bentuk keterikatan.
Titik lepasnya ada pada saat mereka berniat menemukan simpul lain untuk mengikat takdir mereka yang jauh lebih baik. Harapku adalah aku bisa untuk menjadi simpul baru bagi hidup mereka. Karena bagiku, tak ada yang lebih indah dari berbagi dan saling tersimpul satu sama lain.

Dari lampu mobil yang hilir di seberang, butiran air hujan tak tampak lagi. Kusadari, ini penanda akan hadirnya petugas mall yang mengamankan pintu masuk dari keramaian anak-anak ini. Aku bergegas memperjelas pertemuan kami selanjutnya, sebelum akhirnya bunyi peluit berdesing di pelataran memecah pertemuan kami.
Kutatap mereka jauh berlari setelah mengingatkanku untuk kembali menepati janji bersimpul dengan mereka saat hujan turun.

Malam menggiringku untuk kembali ke rumah. Meneguhkan niat hingga membuat hatiku kelu membayangkan mereka. Aku menapaki jalan kompleksku dan pikiranku fokus tentang mereka. Kucoba gambarkan betapa besar keinginan dan niat mereka untuk belajar hingga membawaku pada suatu titik dimana aku yakin bahwa mereka bisa.

Kuyakin hidup butuh penuh dengan penaklukan. Maka sekalipun dunia tidak memberikan jeda untuk dicicipi, siapapun bisa menjerang dunia untuk hidup lebih baik. Maka selagi semangat, bertarung dan hidup lah.