Saturday, February 4, 2012

tentang bahagia


Aku mendapati diriku sebagai seorang workaholic setelah aku terseret karena tuntutan garis takdir yang tertulis untukku sejak 1999. Aku melibatkan diri dalam dunia pendidikan sebagai pengajar sejak aku kuliah semester dua. Tak pelak, aku mulai merasakan indahnya menciptakan materi dari apa yang kuusahakan.
Menjelang dasawarsa karirku dalam dunia pendidikan, aku sadari jiwaku mulai berisik, pemikiranku lalu-lalang. Jiwa dan pemikiranku lalu kembali menyeretku untuk mengembangkan pengalaman mengajarku, dan aku pun bergabung dengan lembaga kursus, juga menjadi seorang pengajar. Ditambah jadwal privat yang kujalani yang saat ini sudah terhitung delapan, benar-benar mengasah ilmuku.
Jiwaku kembali ramai, pemikiranku berpencar, lalu kudapatkan satu titik dimana aku mendapat titik terang dari keduanya—yang kubutuhkan adalah mencoba menyelami aktivitas lainnya. Dan yang kutemukan adalah menjadi seorang translator di dua lembaga sekaligus menarikku menjadi seorang interpreter.
Apa yang kujalani saat ini adalah tuntutan dari keinginanku untuk memenuhi apa yang jiwaku inginkan. Dan karena pikiranku terus menghasut—yang kubutuhkan adalah aku (pikiran) ingin menyelami hidup dengan ilmu dan membaginya dengan orang yang benar-benar akan menghargainya. Dan mungkin dengan jalan itulah, akan kutemukan bahagia untuk hatiku.
Kesendirian pernah mengajariku—materi itu layaknya emosi yang datang dan pergi, mudah berubah, kadang seperti air yang deras, kadang seperti gurun. Karena itu, yang manusia butuhkan bukanlah materi melainkan ada kebutuhan sosial yang diperlukannya untuk menyemarakkan hatinya dengan bahagia.
Mata seringkali mengajariku—bagaimana orang-orang menjadi bahagia dengan kebaikan dan pertolongan yang mereka berikan.
Pernah dan sepertinya selalu terjadi dalam istanaku. Saat itu, aku memasang wajah penuh rasa kasihan dan mengisyaratkan rasa lapar yang tak terbayangkan. Bunda melihatku dan segera membuatkan cake favoritku, meskipun aku sadar penuh, aku tidak menggambarkan cake itu di mataku.
Tak lama, cake itupun jadi dan entah pada hitungan ke berapa cake itu seolah menguap ke langit. Senyum manis yang berkali-kali lipatnya dari senyumku biasanya terukir jelas di pandangannya dan sedetik kemudian dia melontarkan deretan kata yang manis “tunggu, masih ada lagi”, dan terus mengulanginya hingga semua cake itu menguap ke langit.
Malam kembali membawaku ke peristiwa penguapan itu, dan rekaman ingatanku menjabarkan bahwa ketika bunda mencoba untuk tulus memberi, bunda sepertinya menemukan bahwa keinginannya untuk memberi meningkat berlipat-lipat.
Apa yang bunda lakukan adalah bentuk cinta altruistiknya yang di dalam buku Letter to Sam, Daniel Gottlieb menjelaskan cinta altruistik berarti memberikan sesuatu kepada orang lain karena kasih, bukan karena kita berpikir kita harus melakukannya.
Bundaku paham yang dia butuhkan untuk menjadi bahagia adalah melihat anak-anaknya sukses dan bahagia yang berarti kejadian penguapan sangat mungkin terulang di istanaku.
Namun, setelah menjalani hariku dengan kuliah di program master komunikasi, mengajar di bimbingan belajar, di lembaga kursus, kelas privat, menjadi translator dan interpreter, aku masih mendapati bahagiaku belum lengkap.
Peta hidup seorang filsuf mengajariku—hidup adalah rangkaian masalah sulit yang harus dipecahkan dengan sedikit kesenangan. Yang kutahu, yang menjadi kebahagiaanku adalah menjalani aktivitas mimpi-mimpiku yang ingin kembali kulanjutkan—menjumpa dan bereaksi dengan ragam sosial.
Aku tidak bermaksud mengubah dunia ataupun memaksa menjadi berarti bagi orang lain, namun sejujurnya yang aku inginkan adalah aku ingin melakukan sesuatu yang berarti bagi hatiku, sesuatu yang membuatku bahagia.
Bahagia atas nama hidupku adalah merasakan dunia dengan menyelusup menyelami rupa-rupa sisi anak-anak, menghias diri dengan terus memberi dan berbagi, menenggelamkan diri dalam diri manusia yang putih hatinya, berparade dan berpencar menggali kreativitas, menjebakkan diri dalam dunia dan intelektualias manusia yang hilir mudik membangun kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia lainnya. 
Sekali lagi, atas nama hidupku, tak ada panggung seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan bahagia.

1 comment:

  1. Aristoteles bilang kebahagiaan itu tergantung dari diri kita sendiri.....

    Menurutku kitalah yang menciptakan kebahagiaan itu karena sebenarnya kebahagiaan sejati yang nanti diberikan adalah saat kita sudah bersama-Nya disana :))

    tulisannya inspiring kak :D

    ReplyDelete