Friday, June 29, 2012

Mozaik dalam Lubuk Negeri


 Pantai, pasir, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang kepergian ayah. Aku terbalut sakit dan trauma. Sakit karena kehilangan yang ku alami.
Daniel Gottlieb dalam bukunya Letter to Sam pernah mengatakan bahwa rasa sakit, bahagia, benci, bahkan cinta adalah emosi yang sifatnya transisional. Emosi itu datang, lalu pergi, sesekali melejit, membakar, lalu padam.
Gotlieb benar, yang aku butuhkan adalah waktu karena emosi terhadap kehilangan mendalam yang aku rasakan belasan tahun yang lalu sifatnya tidak akan abadi.
Tahun 2009 adalah tahun dimana aku merasakan emosi akan kehilanganku  mereda. Tahun dimana aku melepaskan diri dari rasa takut akan laut. Tahun dimana aku memberanikan diri menantang traumaku. Tahun pertamaku menginjakkan kaki di atas pasir pantai Bira. Sungguh, ini adalah sebuah pertarungan besar dalam jiwaku.
Kurasakan, sesekali angin mengusikku dengan aroma garam yang menyengat. Aroma yang kembali menarikku merasakan emosi yang telah padam. Menakutiku dengan bayang-bayang ombak yang menghantam kapalku.
Ada bahagia hati kecilku berbisik, aku hebat telah membuka tirai yang memisahkanku dari sisi dunia terindah. Yang kupuja-puji. Yah inilah, pantai, laut, dan langit. Sisi dunia yang paling menggodaku, yang membuatku jatuh cinta. Di pantai Bira itu, kurasakan diriku jatuh cinta dengan semua fenomena alam yang berparade di depan mataku saat itu.
Kubiarkan kakiku melangkah, selangkah demi selangkah. Aku terus melangkah. Lalu sesekali aku berhenti dan membalikkan badan. Dan kulihat jejak kakiku di pasir-pasir itu. Sungguh aku tak percaya atas apa yang telah kulakukan. Sesekali aku bertanya “aku kah ini?” sulit rasanya untuk menjawabnya. Kubalikkan kembali badanku, menghadap laut dan kembali berjalan. Kulihat angin menggoda ombak dan pasir untuk memperbarui diri. Sungguh anggun mereka bergerak. Dan yah, mereka cantik.
Saat matahari telah duduk di puncaknya, aku dan sahabatku memutuskan untuk mengunjungi Tana Beru. Tempat dimana aku belajar budaya masyarakat di tanah itu. Tempat dimana aku ditarik menyelami rupa budaya, nilai, keyakinan, dan mimpi. Dan tempat dimana kusaksikan orang-orang mencurahkan jiwanya ke dalam sebuah maha karya. Sebuah kapal bernama phinisi.
Kusisiri setiap lekuk badan phinisi yang terbuat dari kayu. Aku takjub dengan keanggunannya. Aku takjub dengan mimpi besar orang-orang di tanah ini yang mereka bangun atas budaya dan nilai yang digenggamnya.
Sungguh phinisi ini cantik. Dua tiang layarnya berdiri dengan angkuhnya. Tujuh layarnya terbentang seakan menantang tujuh samudera untuk diarungi. Lunasnya dihadapkan ke timur laut yang ditopang dengan dua tunas yang mewakili simbol anak adam dan ais. Inilah phinisi yang selama ini hanya hidup dari bayangan miniature yang kulihat di pertokoan.
Seorang punggawa (gelar bagi orang lokal yang dipercayakan untuk membacakan mantera dalam sebuah ritual) menghampiriku, membawaku tenggelam dalam sejarah maha karya ini diciptakan oleh Sawerigading menjadi saksi perjalanannya menuju Tiongkok untuk meminang We Cudai. Maha karya yang lahir untuk menghentakkan lautan, menggetarkan dunia, meninggalkan derap kagum dalam hatiku atas kelahirannya dan atas kisahnya.
Kisah phinisi dalam pemahamanku adalah seperti angin yang datang, pergi, dan disusul dengan angin lainnya. Phinisi yang diciptakan oleh Sawerigading saat itu lahir sebagai karya, lalu menjadi kapal yang menjelajahi dunia, kemudian terberai disapu ombak. Namun, kelahirannya telah menginspirasi dunia dan menyisakan ragam nilai untuk dipadankan dengan budaya, bahkan ritus.
Ritus yang disematkan dengan teguh atas setiap kelahiran phinisi dikenal dengan ammosili dan appasili. Ritus yang dimulai saat gelap, saat jutaan bintang bersinar, mengindahkan langit. Ammosili lahir dari rahim keyakinan bahwa doa, pujian, dan harap adalah senjata ampuh yang memproteksi diri dari musibah. Ritus ammosili lalu dilanjutkan dengan appasili yaitu peletakan lunas di pusat kapal. Appasili sesungguhnya adalah metafora kelahiran anak yang lalu diputuskan tali pusarnya dan dinyatakan siap untuk merasakan dunia dan menjumpa ragam hidup.
Kedua ritus tersebut adalah representase budaya, nilai, dan keyakinan yang dibangun dan diabadikan dalam masyarakat di tanah ini. Phinisi adalah konstruksi mimpi besar orang-orang di tanah ini untuk menyelami rupa-rupa petualangan, mimpi untuk berparade dan berpencar ke arah yang tidak tereka. Karena jiwa dan darah bugis Makassar adalah merantau, phinisi adalah jiwa yang membawa mereka menjalani mimpi-mimpi besar.
Entah karena mimpi besar orang-orang di tanah ini atau karena keteguhan mereka, tak sedikit turis asing yang terkagum-kagum bahkan memesan phinisi dari mereka. Phinisi yang lahir dari nilai, budaya dan keyakinan itu dihargai milyaran rupiah. Nilai yang sepadan untuk sebuah kerja keras.
Pikiranku lalu menarikku untuk kembali mencermati peristiwa-peristiwa dimana nilai-nilai budaya dikesampingkan. Dipandang sebelah mata. Dinilai sebagai sebuah diagnosis, sebuah masalah. Kadang hanya dilirik. Tidak diakui. Dianggap primitif. Lalu ditinggalkan.
Namun phinisi lalu lahir sebagai mozaik untuk mematahkan semua pandangan-pandangan itu. Sebuah mozaik yang membuktikan bahwa budaya yang terkandung dalam lubuk tanah ini adalah lubuk kekayaan yang sesungguhnya. Dan atas kelahirannya, phinisi menjadi arti, nilai, dan bahkan jiwa bagi negeri ini. Sebuah arti yang telah dinilai oleh negeri di luar sana. Dan aku tidak sabar menantikan orang-orang di negeri ku Indonesia merasakan arti menjadi luar biasa dengan menyandang kultur dan nilai dalam lubuk negeri ini.
Sekali lagi kurasakan jantungku meletup-letup ketika kembali kusisiri badan phinisi. Kuakui, kehadirannya menambah kualifikasi cantik tanah ini. Dan phinisi itu benar-benar membuatku merasakan bangga yang tak terhingga menjadi bagian dari tanah, pulau, dan negeri tumpah darahku. 
Sungguh atas nama hidupku, tak ada mozaik seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan berbangga atas budaya, nilai, dan keyakinan yang menjadi roh tanah ini, mozaik negeri ini.

 

1 comment:

  1. Semangat mengindonesiakan indonesia lewat Blog...
    semangat Indonesia!!
    salam anak negeri

    Blogwalking & Mengundang juga blogger Indonesia hadir di
    Lounge Event Tempat Makan Favorit Blogger+ Indonesia

    Salam Spirit Blogger Indonesia

    ReplyDelete