Sunday, January 29, 2012

..........lalu, dia pergi

Hari ini cerah. Langit biru. Kami sumringah. Tawa membahana di pantai pasir putih itu. Gunung membentang di hadapan hamparan laut. Tebingnya menjulang. Aroma garam menyengat. Kami ingin melaut.

Sungguh perahu itu mungil untuk mengangkut empat belas orang. Kami melawan arus, bergerak dengan kekuatan dua dayung tanpa mesin. Tawa meluap namun pikirku aneh, rasaku mengganggu batinku. Aku akui begitu takut. Takut berada di air.

Sesosok makhluk aneh di air menyelam di sebelah perahu kami. Begitu detail aku melihatnya, berbulu panjang, tubuhnya lonjong, berwarna coklat kehitaman. Rasa takut memenuhi dadaku. Dadaku menggembung. Nafasku tersendat. Mataku membulat.Ketakutanku melihat makhuk aneh itu membuatku tak megacuhkan sekelilingku.

Tak lama kemudian,laut mengamuk,  ombak menghantam, perahu kami pun terbalik. Kusadari diriku telah berada dalam air dan kami teriak namun tak mengeluarkan suara sama sekali. Yah, kami tenggelam, terbuang-buang dalam desakan air.

Kucoba berenang mencapai dasar laut, tapi tak bisa. Kucoba untuk naik ke permukaan dengan segala ketidaktahuanku dalam berenang. Kucoba menggerakkan kaki dan tangan, mengeksplor semua gerakan yang aku bisa. Hingga keajaiban hadir membawaku bertemu kembali dengan keluargaku di permukaan air. Kami berpeluk di perahu kami yang terbalik. Allah maha kuasa menyelamatkan kami semua. Padahal, dari tujuh belas orang yang berada di perahu, hanya tiga orang yang bisa berenang : ayah, tante, dan iwan—supir pamanku.

Belum selesai kami bernafas panjang, ombak kembali datang, menghantam perahu kami. Kami teriak sekencang-kencangnya. Kami bergerak sebanyak-banyaknya, berenang sekonyong-konyongnya, dan beserah pada air hingga membawa kami kembali ke permukaan. Tak lama, kami berhasil melihat kebesaran Allah kembali. Kami kembali berpeluk, berpegang kuat pada perahu, dan serentak berteriak meminta pertolongan. Kami menangis sejadi-jadinya.

Kuperhatikan adikku : Ila dan Mika, tanteku : Api, Uccank, dan Arfa, pamanku Ayah, dan sepupupku : via, ari, dan riah. Sementara sisanya, entah dimana. Kucoba berbalik, dan kusaksikan tebing menjulang tinggi, pepohonan menari-nari dirayu angin pantai. Aku pasrah ketika kusadari tak akan ada bantuan yang akan datang. Ketakutanku meletup-letup. Aku berurai peluh. Kami tak kan terlihat, kami terguncang bebas di balik tebing-tebing itu. Tak akan ada yang melihat apa yang sedang terjadi—menimpa kami.

Sungguh Allah Maha Kuasa, kuasa membalikkan perahu kami sekali lagi, kuasa mendatangkan ombak, menghantam kami. Buih-buih ombak menyapu harap, arus mengusap air mata, dan ujung perahu menghantam otak kecil ayah. Dia mengapung, terlentang di lautan. Mulutnya berbusa, wajahnya memutih, matanya menutup, kami teriak, menangis, teriak, terisak. Sungguh Allah Maha Kuasa dan kami tak kuasa.
                                                       
Pantai Dato', West Sulawesi
















***

Entah siapa yang berinisiatif mendaki tebing tinggi itu, dan menyaksikan kami menjalani takdir terbuang-buang di lautan. Pertolongan tiba. Menolong ayah yang tubunya sudah kaku. Kami dibopong satu persatu seperti ayah yang menyelamatkan nyawa adikku Reza tepat sebelum otak kecilnya dihantam perahu. Kusaksikan tubuhnya dibalik, kepalanya di bawah, kakinya di atas, tubuhnya diguncang-guncang, air mengalir dari mulutnya bercampur busa. Aku terisak, teriak memanggilnya hingga aku tak sadarkan diri, aku telah berada di sebuah bangunan bertembok putih.

Kami menunggu kabar tentang dia di mobil. Keluargaku pusing, berlimpah duka, berlumur takut. Takut jika terjadi sesuatu padanya. Kami mencintainya, ingin terus bersamanya. Bunda mengusap-usap kepalaku dan adikku sembari menjelaskan betapa paniknya dia menantikan kami kembali dari berperahu lebih dari tiga jam. Tak kusangka kami bisa bertahan lebih dari tiga jam terombang-ambing di laut. Kulihat dia merasa lega melihat kami kembali, tapi ada ketakutan besar menyelimutinya.

Ketakutannya menjelma kepedihan ketika nenek melambaikan tangan ke arah kami. Lambaian itu mengisyaratkan ayah telah kembali ke sisi-Nya, pergi dari kami, meninggalkan hari bersama kami—bunda, aku, dan keempat adikku.
Langit runtuh, hujan mengguyur, petir menyambar, guntur meracau, semuanya menghantam kepedihan kami.
Aku berlari turun dari mobil, berlari memastikan isyarat nenek. Di kamar bertembok putih itu, tubuhnya dibaringkan, diselimuti kain putih, diiringi tangisan. Aku menatapnya dalam, bibirku terkatup, mataku berair, dadaku sesak menggerutu pada Tuhan yang telah mengambilnya dariku, dari kami.

Nenek menarikku keluar, tapi aku menolak. Paman datang membantu nenek membawaku keluar, namun aku tetap bertahan untuk berada di dalam, aku teriak memanggilnya dan menangis sekencang-kencangnya hingga kurasa tubuhku melemah, dan aku kembali tak sadarkan diri.

Keesokan harinya adalah hari pemakamannya. Mobil yang kami gunakan bergerak membawanya menuju kampung halamannya. Di sanalah dia akan dimakamkan. Di tempat itulah, kami kembali mengeluarkan berliter-liter air mata, menyaksikan orang beramai-ramai menutupnya dengan tanah. Hingga nisannya tertancap, ribuan duri menancap luka, jutaan duka menghimpit hati.

No comments:

Post a Comment