Sunday, January 29, 2012

menyalami dunianya

Sosok pertama yang kukagumi adalah ayahku. Dia bertubuh kecil, putih, alisnya tebal dan hitam, rahangnya tegas. Ayahku seorang pemuda yang gagah dan cerdas. Hidup dalam keluarga sederhana, menjadi batu loncatan yang besar untuknya menjadi sosok yang luar biasa. Hidup saling berdampingan dalam damai dengan masyarakat di sekitarnya memengaruhi naluri sosialnya kian baik.

Di desanya waktu itu, belum ada sekolah karena jejeran tepi jalan dipenuhi rumah penduduk dan kebun.
Berkeinginan besar untuk mencicip nikmatnya ilmu pengetahuan, dia memutuskan untuk meninggalkan desa, rumah dan orang tuanya. Dia berjalan menjauh, meninggalkan jejak di jalan berbatu, menyusup pada titik hilang di setiap pasang mata yang melepas kepergiannya.

Mimpi untuk berpendidikan lebih tinggi, dijalaninya di asrama angkatan darat di ibukota provinsi kelahirannya. Dia bersyukur bisa membaca, diskusi, dan menuang gagasan. Belajar dari buku-buku yang ia pinjam, ia mulai merasakan dunia, menyalami rupa-rupa pengalaman, menjumpa ragam konflik, mereaksi fenomena, hingga memecah misteri—misteri politik.

Keterpukauannya pada politik serta merta menggiringnya ke universitas terbaik di Indonesia Timur waktu itu. Dia mendaki, berkembang, ilmunya mengganda, hidupnya berpencar ke arah-arah yang tidak tereka. Dan adalah keajaiban dia mulai mendapatkan honor dari mengisi kolom tetap di surat kabar dan majalah politik.

Setelah menyelesaikan sarjananya, dia memulai karir menjadi dosen di universitas itu. Dia melebarkan sayap dalam kolom-kolom bacaan, mengarungi padang ilmu, menyapa dan menerjun pergulatan sengit dalam dunia politik.

Berita sajian televisi negeri dan swasta menjadi santapannya tiap pagi, siang, petang, hingga menembus malam. Dengan begitulah dia berjabat dengan politik dan pemerintah. Berpegang pada teori, bersandar pada mazhab, politik disuarakannya dengan lantang.

Dia menjelma seperti tombak—tegap, tegas, gagah, dan dingin. Sosoknya cerdas memukau, tabiatnya baik, tuturnya santun, rupanya memikat. Tak heran seorang perempuan bermata kecil yang kini kusapa bunda terpikat oleh sosok rupawan sepertinya.

Karirnya menanjak seiring polemik dunia politik memanas. Kelompok diskusi—kosindra* yang didirikannya bersama rekan-rekan pengajar lainnya kian  menjadi. Baginya diskusi tempat beradu, menimba, penuh kritik, konflik, membuntu, meluruskan, jatuh lalu bangkit, kadang meletup, hingga saling membakar. Semua kemungkinan pergulatan hidup dan kekuasaan berhias dalam diskusi—diskusi politik. Dan dia, yah, dia makin memikat.

Tepat pada permulaan tahun 1987, dia memutuskan menikahi perempuan cantik bermata kecil itu. Setahun kemudian, aku lahir dan disusul empat adikku berturut-turut hampir setiap tahunnya. Maklum saja, mereka benar penganut paham banyak anak banyak rezeki. Selain itu, angka lima bisa saja angka paling tenar untuk jumlah anak pada dekade itu.
Aku dibesarkan oleh mereka hingga umur tiga tahun. Ayahku memutuskan untuk lanjut studi master di Ibu kota, didampingi oleh bunda, dan ketiga adikku, dan tentu saja tanpa aku. Aku dititipkan di rumah kakek nenekku bersama tante-tanteku yang semuanya adalah mahasiswi. Yang bertubuh besar adalah mahasiswi ekonomi, yang tubuhnya kecil adalah praktisi ekonomi, dan gadis yang berlesung pipi itu adalah mahasiswi kimia. Tak heran, jika aku menjadi anak yang cerdas dalam membaca dan menghitung sejak usiaku baru menginjak angka tiga. Maka, tak salah kata tetua kita yang menyimpulkan—bergaullah dengan orang cerdas untuk menjadi cerdas.

Kecerdasanku terbukti dengan hasil rapor yang kian membesarkan dada ayah dan bunda. Aku bangga bisa membuat mereka berbangga. Aku tersenyum lebar ketika senyum ayah tersimpul ringan berjabat dengan guruku.
Untuk mendapatkan sesuatu darinya ataupun dari bunda, aku dituntut mengukir prestasi. Meja belajar yang kupikir adalah kewajiban orang tua untuk diberikan kepada sang anak ternyata baru bisa kudapatkan setelah aku berhasil menunjukkan angka satu romawi di kolom peringkat kelas di raportku. Begitulah seterusnya, hingga caturwulan berikutnya, berhasil kudapatkan lemari baru untuk memajang koleksi buku sekolahku.

Yah, begitulah dia mendidikku—mendapatkan sesuatu melalui kerja keras. Hingga ketika aku beranjak dewasa aku pun sadar—benar butuh pengorbanan untuk sebuah penaklukan yang besar.

No comments:

Post a Comment