Friday, February 17, 2012

root of love


Dia pria kecil—baik perawakan tubuhnya maupun hal yang telah dia lakukan untuk dunia. Dia hanya menikahi perempuan yang dikaguminya dan mendampingi lima anak yang akan memahami cinta dan belas kasih dalam hidup. Dia memaknai hidup dan cinta sebanyak waktu yang dia miliki.
Sejak sepersepuluh abad lalu, perempuan itu sendirian mendampingi anak-anak itu karena dia tak menemukan orang yang tepat untuk bersamanya berbagi cinta. Kehilangannya nyata karena dia telah mencinta dan dicintai dengan begitu dalam.
* * *
Tubuhnya tidak begitu besar, namun entah vitamin apa yang membuat pria itu memiliki cinta yang begitu besar kepada perempuan yang setelah enam tahun baru menyadari cintanya.
Pria itu mencintainya seluas langit dengan seluruh hatinya sementara perempuan itu melihat rasa itu beriringan dengan logikanya. Hatinya tidak merasakan cinta itu karna mata dan logikanya lah yang berperan.
Hingga pria itu melepaskannya, dia merasakan hatinya kosong. Tak pelak, dia merasakan sakit karena kehilangan orang yang sangat mencintainya. Dia kehilangan cinta yang seharusnya dia rasakan di hari-hari kemarin.
* * *
Mencintai maupun dicintai ataupun saling mencintai, kehilangan itu adalah hal yang pasti karena semua yang memiliki keterikatan dengan kita akan pergi. Setiap kehilangan, benar, adalah pukulan yang membawa rasa sakit. Dan rasa sakit adalah luka emosional yang bersifat transisional, dimana kita tidak perlu memaksa diri kita untuk segera sembuh.
Daniel Gottlieb pernah menuliskan bahwa semua emosi yang kita rasakan sifatnya sementara; kita bisa menunggu emosi itu berlalu seperti saat kita menunggu bus. Kita bisa menunggu bus dengan rasa sedih, frustrasi, marah, ataupun merasa menjadi korban, tetapi semua perasaan itu tidak akan membuat bus datang lebih cepat. Kita bisa saja menunggu dengan sabar dan santai, tetapi hal itu juga tidak membuat bus datang lebih awal. Seperti umumnya, bus itu akan datang ketika waktunya tiba. Kita hanya harus memiliki keyakinan bahwa bus itu akan datang.
Perempuan yang hingga kini mendampingi lima anaknya, tak lagi merasakan sedih yang dalam atas kehilangannya belasan tahun yang lalu. Meski terkadang dia merindukan seseorang yang dulu dia miliki, seseorang yang mencintai dan dicintainya dengan begitu dalam.
Dia juga punya luka, mungkin hingga detik ini, tapi tidak ada yang salah dengan luka karena luka itu tumbuh dari kehilangan dan kehilangan itu adalah akar dari cinta yang luar biasa.
Dia butuh waktu lebih banyak untuk benar-benar sembuh karena pikirannya juga terlibat di dalamnya dan karena penyembuhan luka tidak mengikuti keinginan. Luka itu akan sembuh dengan waktu dan caranya sendiri. Namun bagaimanapun juga, luka itu hayalah sebuah emosi. Dan tak ada satupun emosi yang abadi.
Hidup dan cinta yang masih dia miliki dari lima anaknya membuatnya masih bisa merasakan bahagia yang dibutuhkan oleh jiwanya. Dan seperti cahaya, cinta itu mampu menerobos ruang yang kosong namun terbuka.
Yang aku harapkan dari perempuan yang dilepaskan oleh pria yang mencintainya seluas langit itu adalah dia tidak memaksa dirinya untuk segera sembuh. Jika hatinya masih seperti dedaunan retak terisak, kuharap dia sudi menjalaninya hingga di persimpangan jalan di depan, hatinya bisa bersemi dan penuh bunga yang bermekaran hingga ratusan musim yang akan datang.
* * *
Seperti angin, rasa sakit itu datang dan pergi. Dan semua kehilangan dalam hidup ini adalah tatanan yang sempurna untuk menghimpun cinta yang berserakan, untuk mengajarkan hati menghargai kenangan, dan untuk merasakan cinta yang luar biasa. 
Maka beruntunglah orang-orang yang bisa melihat ke masa lalu dan hanya merasakan cinta dan syukur dalam hatinya.

Wednesday, February 15, 2012

taste, laughter, 'n love

Fruit salad
when mango, grape, papaya, 'n melon fuse then season with milk, mayonnaise, 'n cheese to taste..
Here, it's my fruit salad which lets me experience how sweet life is..

made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 





 

 Black Choco Frappio is my luscious drinking, made in a flash. I’m amazed at its smooth, its rich taste.
Blended with chocolate, milk, 'n oreo, it yields a delicious in frothy wineglass. It’s creamy and perfect for balmy nights.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 






 Chocolate Cherry Sparkling

This sparkling cherry looks like a patisserie or dessert star. Covered up by rich cream, this glossy cake tastes like I have a to-die-for it.


 made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani  








 Chocolate Smoothie Icy Cream
Small chocolates sowing on the top garnish the cream covering the chocolate cake.
These chocolates smoothie icy cream may not melt in your hand, but they will certainly melt in your heart.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 



chocolate smoothy icy cream

Dream Cream Chilled Chocolate

This cold and creamy chocolate is a luxurious and tantalizing summer treat.
Cocoa, gelatin, milk are joint when the temperature warms up. Added a luscious finishing touch with whipped cream, It’s a truly combination to die for.


made, served, 'n captured by Yuyu Ichsani 

where dishes capture memory of taste, laughter, 'n love

Here it’s another version of fried rice. Wrapped with omelette, it is folded around a filling such as cheese, vegetables, meat. To obtain eye-catching texture, the thousand islands are cross-composed and almost cover the rest of the ingredients.

made 'n served by Yuyu Ichsani
photo by Dody Sunjana
Most enjoyably, the entire thing is slightly assorted allowing the cheese to cover it. All of the flavors are balanced wonderfully – all add just enough kick.






This what to expect for beautiful morning: incredibly current, creative, fresh, full and layered flavors in food that just so happens to be sandwich.. It engulfs the mouth in a saucy, cheesy, sheared-carrot mix that’ll have you fighting over the last dollop.

made 'n served by Yuyu Ichsani
photo by Yuyu Ichsani

Sunday, February 12, 2012

a cup of beauty

Kala itu, garis panjang membelah matahari lalu menyemburkan lazuardi merah menyala-nyala. Dan seperti pasir dan ombak yang tengah memperbaharui dirinya, kulihat perempuan berjejer di tepi pantai. Seperti laut, mereka sibuk. Berusaha menampilkan pose yang dimiliki yang dikiranya akan menambah kualifikasi cantiknya.
Sementara, di belahan dunia lain, seperti dahan-dahan merunduk menekuri nasib, sahabatku duduk menekuk. Kulihat awan di atasnya, mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan tumpah.
Dia mengeluhkan fisiknya. Meratapi dirinya. Merendahkan hatinya hingga tanah lapisan ke tujuh. Dia terus saja meyakinkanku bahwa dirinya tidak cantik. Dia selalu menegurku ketika kulontarkan pujian terhadapnya karna dipikirnya aku telah menyebarkan fitnah atas dirinya. Sungguh, yang dia rasakan melampaui putus asa.
Kadang, melihat dirinya, seperti memandang langit setelah senja. Matanya bulat, bersinar-sinar seperti bintang. Di pipinya terukir lesung yang dalam. Dari sirip-sirip jendela pun, setiap pasang mata bisa melihat betapa bersinarnya dirinya.
Namun perasaan malu telah berhasil menutup hatinya menyadari apa yang dia miliki. Hingga yang terlihat bagiku adalah sebuah purnama yang timbul tenggelam di gumpalan awan.
Saat malam diterangi bintang, keteduhan bercerita bagaimana Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan dengan begitulah manusia menyadari bahwa inilah diriku, dan dia adalah dirinya. Yang secara bersamaan, manusia sendirilah yang memberi label atas dirinya dan yang lain.
Karena itulah, pelabelan fisik lalu memaksa kualifikasi cantik tersusun. Hingga, kusaksikan bagaimana kecantikan fisik itu adalah sebuah kecemburuan yang menyeret seseorang untuk mencari rival.
Seperti sayap-sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta setelah senja, seseorang takkan lagi terlihat indah ketika jiwanya tak bercahaya. Karena cantik tidak hanya menyejukkan mata di saat terang, tapi juga menenteramkan hati di saat gelap. Karena Tuhan, menciptakan terang dan gelap, maka hanya kebaikan dan kebijaksanaanlah yang bersinar abadi.
Seorang filsuf berkata “harta terbesar seringkali tidak ditemukan oleh mata, melainkan hati lah yang menunjukkan jalannya.”
Seketika, definisi cantik yang kupahami meluas, juga saat hatiku dipenuhi kecantikan oleh orang-orang di sekelilingku yang tidak pernah bisa terlihat oleh mataku. Aku berbahagia karna bisa merasakan kecantikan dari seorang sahabat yang teguh menjaga hijabnya. Dari seorang junior yang kata-katanya mampu mendeskripsikan dunia dari buku yang ia baca. Dari saudaraku yang kehadirannya membawa tawa yang tulus. Dari kakak yang ilmunya mencerahkan pengetahuanku.
Lalu aku paham, kecantikan itu lahir dari semua bentuk dan ukuran, dan tak bisa kupungkiri, aku belajar menjadi cantik dari semua yang orang lain beri dalam hidupku.
Dari semua deretan waktu yang melaluiku, kumpulan detik mengurai rupa-rupa pengalaman. Mengajariku untuk melihat kecantikan yang dipancarkan oleh semua ibu. Ketika remaja, mereka cantik. Hingga kini, saat mereka menua, kecantikannya tidak memudar karna mereka bijak mentransformasikan cantiknya dari wajah ke hatinya.
Dan kala matahari berputar di lengkung langit, matahari berbisik ‘aku tahu jalanku kembali’. Seperti itulah aku tersadar bahwa ada jalan dari mata ke hati yang beriringan dengan intelektualitas. Maka cantik itu juga ketika perempuan mengutarakan pikirannya seperti jutaan bintang meledak, tumpah ruah, mengindahkan langit.
* * *
Setiap manusia memiliki sesuatu di dalam dirinya. Sebuah benda ajaib. Yang dalam semua kondisi, seseorang mengabaikan fisik. Baik malam ketika kunang-kunang berbagi cahaya maupun burung yang berbagi nyanyian di ujung tetunan merah, seperti coklat dalam cangkir, perempuan itu cantik walau hanya menyandang nama atas dirinya dan apa yang dia miliki. 
Karena itu, aku ingin setiap perempuan terbang penuh warna. Bermekaran di setiap sudut waktu. Menari-nari dalam hidupnya. Dan bersinar dalam kecantikannya. 


Saturday, February 4, 2012

tentang bahagia


Aku mendapati diriku sebagai seorang workaholic setelah aku terseret karena tuntutan garis takdir yang tertulis untukku sejak 1999. Aku melibatkan diri dalam dunia pendidikan sebagai pengajar sejak aku kuliah semester dua. Tak pelak, aku mulai merasakan indahnya menciptakan materi dari apa yang kuusahakan.
Menjelang dasawarsa karirku dalam dunia pendidikan, aku sadari jiwaku mulai berisik, pemikiranku lalu-lalang. Jiwa dan pemikiranku lalu kembali menyeretku untuk mengembangkan pengalaman mengajarku, dan aku pun bergabung dengan lembaga kursus, juga menjadi seorang pengajar. Ditambah jadwal privat yang kujalani yang saat ini sudah terhitung delapan, benar-benar mengasah ilmuku.
Jiwaku kembali ramai, pemikiranku berpencar, lalu kudapatkan satu titik dimana aku mendapat titik terang dari keduanya—yang kubutuhkan adalah mencoba menyelami aktivitas lainnya. Dan yang kutemukan adalah menjadi seorang translator di dua lembaga sekaligus menarikku menjadi seorang interpreter.
Apa yang kujalani saat ini adalah tuntutan dari keinginanku untuk memenuhi apa yang jiwaku inginkan. Dan karena pikiranku terus menghasut—yang kubutuhkan adalah aku (pikiran) ingin menyelami hidup dengan ilmu dan membaginya dengan orang yang benar-benar akan menghargainya. Dan mungkin dengan jalan itulah, akan kutemukan bahagia untuk hatiku.
Kesendirian pernah mengajariku—materi itu layaknya emosi yang datang dan pergi, mudah berubah, kadang seperti air yang deras, kadang seperti gurun. Karena itu, yang manusia butuhkan bukanlah materi melainkan ada kebutuhan sosial yang diperlukannya untuk menyemarakkan hatinya dengan bahagia.
Mata seringkali mengajariku—bagaimana orang-orang menjadi bahagia dengan kebaikan dan pertolongan yang mereka berikan.
Pernah dan sepertinya selalu terjadi dalam istanaku. Saat itu, aku memasang wajah penuh rasa kasihan dan mengisyaratkan rasa lapar yang tak terbayangkan. Bunda melihatku dan segera membuatkan cake favoritku, meskipun aku sadar penuh, aku tidak menggambarkan cake itu di mataku.
Tak lama, cake itupun jadi dan entah pada hitungan ke berapa cake itu seolah menguap ke langit. Senyum manis yang berkali-kali lipatnya dari senyumku biasanya terukir jelas di pandangannya dan sedetik kemudian dia melontarkan deretan kata yang manis “tunggu, masih ada lagi”, dan terus mengulanginya hingga semua cake itu menguap ke langit.
Malam kembali membawaku ke peristiwa penguapan itu, dan rekaman ingatanku menjabarkan bahwa ketika bunda mencoba untuk tulus memberi, bunda sepertinya menemukan bahwa keinginannya untuk memberi meningkat berlipat-lipat.
Apa yang bunda lakukan adalah bentuk cinta altruistiknya yang di dalam buku Letter to Sam, Daniel Gottlieb menjelaskan cinta altruistik berarti memberikan sesuatu kepada orang lain karena kasih, bukan karena kita berpikir kita harus melakukannya.
Bundaku paham yang dia butuhkan untuk menjadi bahagia adalah melihat anak-anaknya sukses dan bahagia yang berarti kejadian penguapan sangat mungkin terulang di istanaku.
Namun, setelah menjalani hariku dengan kuliah di program master komunikasi, mengajar di bimbingan belajar, di lembaga kursus, kelas privat, menjadi translator dan interpreter, aku masih mendapati bahagiaku belum lengkap.
Peta hidup seorang filsuf mengajariku—hidup adalah rangkaian masalah sulit yang harus dipecahkan dengan sedikit kesenangan. Yang kutahu, yang menjadi kebahagiaanku adalah menjalani aktivitas mimpi-mimpiku yang ingin kembali kulanjutkan—menjumpa dan bereaksi dengan ragam sosial.
Aku tidak bermaksud mengubah dunia ataupun memaksa menjadi berarti bagi orang lain, namun sejujurnya yang aku inginkan adalah aku ingin melakukan sesuatu yang berarti bagi hatiku, sesuatu yang membuatku bahagia.
Bahagia atas nama hidupku adalah merasakan dunia dengan menyelusup menyelami rupa-rupa sisi anak-anak, menghias diri dengan terus memberi dan berbagi, menenggelamkan diri dalam diri manusia yang putih hatinya, berparade dan berpencar menggali kreativitas, menjebakkan diri dalam dunia dan intelektualias manusia yang hilir mudik membangun kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia lainnya. 
Sekali lagi, atas nama hidupku, tak ada panggung seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan bahagia.