Butir-butir air menghujam di langit malam hari itu. Aku bediri bersandar pada dinding di pelataran mall. Aku terpercik air hujan, terpanah melihat sorak sorai anak-anak jalanan. Mereka berlari, berteriak, bercanda dan sesekali suaranya bertarung melawan guntur yang sungguh menakutiku. Saat langit dibelah dua oleh kilatan petir, guntur menghantam telingaku, seketika lampu mati, dan mereka pun berteriak kencang, sungguh pekik. Mereka adalah anak-anak berpayung besar, berharap besar mendapatkan harapan besar. Mereka penuh warna mewarnai malam itu dan malamku.
Dunia menawarkan banyak hal yang besar untuk orang-orang yang besar. Kepada mereka, dunia menghadiahkan beribu hal kecil, berjuta rasa. Dunia mereka sungguh luar biasa. Aku terpukau melihat senyum anak itu, sesekali datang menggodaku, menatapku dengan genit lalu melemparkan senyum. Aku bingung, tersipu, lalu kubalas menatap setiap inci senyumnya, dan aku mengaku tergoda.
Kuputuskan untuk menanggapi tatapan dan senyumannya. Kuperkenalkan diriku dan kubiarkan waktu bergulir seiring kisah mereka. Anak-anak itu bernasib sama dengan anak-anak yang kutinggalkan di trotoar Merah Putih*. Mereka seolah mengutuki hidupnya tak bersekolah, menghadiahkan jalanan sebagai ruang belajar menantang dunia yang tidak mengacuhkannya.
Aku teriris ketika ketakberseragaman mereka adalah alasannya. Aku sumringah ketika niat untuk mencicip pendidikan diutarakannya. Aku kegirangan merancang pertemuan di tengah hujan di pelataran ini kembali di hari berikutnya.
Tengah menanyakan hal yang ingin mereka pelajari dan tengah memikirkan teknisnya, Aco, salah seorang dari anak itu, berteriak mengalihkan dunia kami.
“oey, mau ko lihat artis?”
Sedetik kami mengikuti liar matanya mencicipi keseksian para gadis yang berdiri tepat di sebelah kami. Spontan anak-anak yang lain bersorak meneriakkan kekaguman mereka, mendekatkan diri dengan tawaran dunia yang lazim mereka saksikan di televisi. Sesekali bersiul tepat di samping telinga para gadis yang kuyakin membuat gadis-gadis itu risih diolok oleh anak-anak itu.
***
Candaan mereka membuatku memanjatkan doa dalam hati agar hujan tak segera reda. Aku masih ingin menikmati senyum polos itu. Aku terpukau lalu kurasa kumulai terjebak untuk menyalami dunia mereka lebih jauh.
Melihat mereka, aku berpikir bahwa semua hal kecil yang terjadi dalam hidup bukan sekedar kebetulan. Yang mereka hadapi adalah menurun dari takdir orang tua mereka yang kurang beruntung dan adalah sebuah bentuk keterikatan.
Titik lepasnya ada pada saat mereka berniat menemukan simpul lain untuk mengikat takdir mereka yang jauh lebih baik. Harapku adalah aku bisa untuk menjadi simpul baru bagi hidup mereka. Karena bagiku, tak ada yang lebih indah dari berbagi dan saling tersimpul satu sama lain.
Dari lampu mobil yang hilir di seberang, butiran air hujan tak tampak lagi. Kusadari, ini penanda akan hadirnya petugas mall yang mengamankan pintu masuk dari keramaian anak-anak ini. Aku bergegas memperjelas pertemuan kami selanjutnya, sebelum akhirnya bunyi peluit berdesing di pelataran memecah pertemuan kami.
Kutatap mereka jauh berlari setelah mengingatkanku untuk kembali menepati janji bersimpul dengan mereka saat hujan turun.
Malam menggiringku untuk kembali ke rumah. Meneguhkan niat hingga membuat hatiku kelu membayangkan mereka. Aku menapaki jalan kompleksku dan pikiranku fokus tentang mereka. Kucoba gambarkan betapa besar keinginan dan niat mereka untuk belajar hingga membawaku pada suatu titik dimana aku yakin bahwa mereka bisa.
Kuyakin hidup butuh penuh dengan penaklukan. Maka sekalipun dunia tidak memberikan jeda untuk dicicipi, siapapun bisa menjerang dunia untuk hidup lebih baik. Maka selagi semangat, bertarung dan hidup lah.
Showing posts with label kelas cahaya. Show all posts
Showing posts with label kelas cahaya. Show all posts
Sunday, January 29, 2012
aku dan mereka bertrotoar
Jika hidup seperti bohlam yang beraneka Watt yang bisa bertahan untuk bersinar, maka hidup patut diperhitungkan. Ketahanannya untuk bersinar berupa daya yang ditetapkan lebih awal, juga bergantung pada seberapa sering bohlam itu bersinar-sinar. Analogi bohlam itu tak lain menjelaskan bahwa setiap manusia dianugerahi panjang hidup yang variatif. Jika tetap menganalogikan bohlam seperti hidup—semakin banyak bersinar, semakin cepat mati. Akan tetapi, kunci dari analogi tersebut adalah seberapa tepat bohlam itu bersinar dicerminkan pada keefektifannya. Tak peduli seberapa lama hidup yang telah ditetapkan untuk seseorang, hidup patut untuk saling menyinari kehidupan yang lain dengan tepat. Becermin pada kehidupan banyak orang yang dipenuhi pengalaman tapi tak jua belajar skaligus becermin pada kehidupan segelintir orang yang hanya disinggahi pengalaman malah mampu menyinari kehidupan sesama sepanjang hidup, maka hidup bukan hanya pengalaman demi pengalaman namun patut digempur pengalaman demi pelajaran.
Pantai, jalanan, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang anak-anak jalanan. Dua pekanku bersama mereka tidak cukup untuk memulihkan otakku yang kian sulit menghafalkan nama-nama mereka. Perjalanan sepanjang Pantai Losari itu membuatku de javu saat kulintasi jejeran trotoar Losari di kala senja. 70 menit ternyata adalah serangkaian detak jarum jam yang merangkai pikiran anak-anak itu berlari menikmati langit sendu—bagiku di sore itu, yang menikung jauh dari trotoar dua pekan kami. Pelarian mereka tidak lain karena 70 menit adalah keterlambatanku menemui mimpi mereka untuk belajar selayak dua pekan yang singkat itu.
Bagiku, mereka masih amat kecil untuk merasakan sekedar ‘janji’ untuk memulai ‘mimpi’ yang kami utarakan kala itu. Dan kala itu, ada rasa yang merasuki ku—bagi sebagian orang disebut rasa bersalah, bersalah karena bak melemparkan kerikil pada air yang kemudian memecahkan air-air impian mereka.
Sepekan berangsur purnama beranjak meninggalkan penyesalanku. Aku mereka-reka arah, meraba samar ingatanku mengenai mimpiku, mimpi mereka—anak-anak jalanan.
Kudapati kompas dalam rekaanku, lalu terpana separuh takut untuk menjalani arah dari jarum yang mengantarku kembali memulai mimpi. Meskipun samar, detak-detak yang terus berdentum dalam jantungku, yang sesekali mengalirkan semangat di urat nadiku, yang sejurus kemudian berangsur-angsur membawaku bergulat dengan menghitung dayaku, ternyata berujung pada kegalauanku memulainya.
Pergulatan itu semakin rumit ketika sahabatku, Debra, entah seberapa langkah di hadapku telah berhasil mendirikan taman belajar untuk anak-anak di pemukiman penduduk yang berdampingan dengan kampus merah di kotaku.
Kembali dari kekagumanku atasnya, aku bergegas ke pangkalan masa-masa aku ‘kecil’ dulu. Kusebut kecil karena masa itu aku baru belajar menghargai 70 menit yang kuabaikan di trotoar Losari. Kulepas tuas yang mengikat langkahku untuk maju, mimpi yang kutambatkan di seutas tali untuk berbagi bersama anak-anak jalanan melesat jauh dari yang kubayangkan, menikamku tepat di jantung, memeras otakku untuk mencari kata, dan inilah yang mampu kusebut sebagai pertaruhan, pertaruhan mengalahkan ketidakmampuanku untuk menghargai waktu.
Seketika lecutan mimpi untuk memulai pertemuanku dengan anak-anak itu meletup dalam pusaran yang dahsyat. Separuh decade nyaliku mengendap, sekilat petir memecahkan langit dukaku.
Antara mimpi, anak jalanan, dan hidup adalah hal tak terpisahkan untuk seorang Nurul Ichsani yang bertekad kembali memulai mimpi—mimpi untuk belajar, berbagi, dan bertrotoar. Barisan kata ini adalah titik dimana aku akan menambah nyali untuk melepas tuas, dan melesatkan apapun yang tertambat dalam perjalananku.
Anak-anak itu dan kehadirannya dalam ingatanku adalah yang pertama mengajariku melaju dari titik kegalauanku menuju titik Merah Putih*.
*sebuah nama untuk deretan trotoar kami.
Pantai, jalanan, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang anak-anak jalanan. Dua pekanku bersama mereka tidak cukup untuk memulihkan otakku yang kian sulit menghafalkan nama-nama mereka. Perjalanan sepanjang Pantai Losari itu membuatku de javu saat kulintasi jejeran trotoar Losari di kala senja. 70 menit ternyata adalah serangkaian detak jarum jam yang merangkai pikiran anak-anak itu berlari menikmati langit sendu—bagiku di sore itu, yang menikung jauh dari trotoar dua pekan kami. Pelarian mereka tidak lain karena 70 menit adalah keterlambatanku menemui mimpi mereka untuk belajar selayak dua pekan yang singkat itu.
Bagiku, mereka masih amat kecil untuk merasakan sekedar ‘janji’ untuk memulai ‘mimpi’ yang kami utarakan kala itu. Dan kala itu, ada rasa yang merasuki ku—bagi sebagian orang disebut rasa bersalah, bersalah karena bak melemparkan kerikil pada air yang kemudian memecahkan air-air impian mereka.
Sepekan berangsur purnama beranjak meninggalkan penyesalanku. Aku mereka-reka arah, meraba samar ingatanku mengenai mimpiku, mimpi mereka—anak-anak jalanan.
Kudapati kompas dalam rekaanku, lalu terpana separuh takut untuk menjalani arah dari jarum yang mengantarku kembali memulai mimpi. Meskipun samar, detak-detak yang terus berdentum dalam jantungku, yang sesekali mengalirkan semangat di urat nadiku, yang sejurus kemudian berangsur-angsur membawaku bergulat dengan menghitung dayaku, ternyata berujung pada kegalauanku memulainya.
Pergulatan itu semakin rumit ketika sahabatku, Debra, entah seberapa langkah di hadapku telah berhasil mendirikan taman belajar untuk anak-anak di pemukiman penduduk yang berdampingan dengan kampus merah di kotaku.
Kembali dari kekagumanku atasnya, aku bergegas ke pangkalan masa-masa aku ‘kecil’ dulu. Kusebut kecil karena masa itu aku baru belajar menghargai 70 menit yang kuabaikan di trotoar Losari. Kulepas tuas yang mengikat langkahku untuk maju, mimpi yang kutambatkan di seutas tali untuk berbagi bersama anak-anak jalanan melesat jauh dari yang kubayangkan, menikamku tepat di jantung, memeras otakku untuk mencari kata, dan inilah yang mampu kusebut sebagai pertaruhan, pertaruhan mengalahkan ketidakmampuanku untuk menghargai waktu.
Seketika lecutan mimpi untuk memulai pertemuanku dengan anak-anak itu meletup dalam pusaran yang dahsyat. Separuh decade nyaliku mengendap, sekilat petir memecahkan langit dukaku.
Antara mimpi, anak jalanan, dan hidup adalah hal tak terpisahkan untuk seorang Nurul Ichsani yang bertekad kembali memulai mimpi—mimpi untuk belajar, berbagi, dan bertrotoar. Barisan kata ini adalah titik dimana aku akan menambah nyali untuk melepas tuas, dan melesatkan apapun yang tertambat dalam perjalananku.
Anak-anak itu dan kehadirannya dalam ingatanku adalah yang pertama mengajariku melaju dari titik kegalauanku menuju titik Merah Putih*.
*sebuah nama untuk deretan trotoar kami.
karna kosmik itu, juga adalah kamu
Aku takjub berada di tengah pusaran kejadian dimana para media player berparade,
pamer keahlian, dan mereka membujur di setiap lirik retinaku.
Melihat figur-figur yang berserakan di kosmik menimbulkan situasi oportunistik bagiku
untuk menyelusup mendaki mimpi-mimpiku.
Di kosmik, aku dirasuki ilmu, diseret pengalaman demi pengalaman.
Kosmik menawarkan ragam figur, memesonaku dengan warna-warni dunia komunikasi.
Dalam hidup, belum pernah aku dijebak untuk terus berpacu menggali kreativitas,
memancarkan segala pesona keahlianku meski kusadar aku masih harus mengejar
dan menjeratkan diri dalam petualangan intelektualitas para kosmikers.
Kosmik tak ubahnya menjadi cahaya yang menerangi langkahku menyambut mimpi
yang kuimpikan. Kosmik memetakan langkahku untuk sampai pada titik pencarianku.
Setiap lirak-lirik retinaku, kudapati diriku berkristalisasi bersama Kosmik.
Ribuan kata kasih kugandakan, kan kupencarkan ke arahmu,
dan kan kuuraikan dalam ragam bentuk semampuku.
*karna kosmik itu,, juga adalah kamu..*
pamer keahlian, dan mereka membujur di setiap lirik retinaku.
Melihat figur-figur yang berserakan di kosmik menimbulkan situasi oportunistik bagiku
untuk menyelusup mendaki mimpi-mimpiku.
Di kosmik, aku dirasuki ilmu, diseret pengalaman demi pengalaman.
Kosmik menawarkan ragam figur, memesonaku dengan warna-warni dunia komunikasi.
Dalam hidup, belum pernah aku dijebak untuk terus berpacu menggali kreativitas,
memancarkan segala pesona keahlianku meski kusadar aku masih harus mengejar
dan menjeratkan diri dalam petualangan intelektualitas para kosmikers.
Kosmik tak ubahnya menjadi cahaya yang menerangi langkahku menyambut mimpi
yang kuimpikan. Kosmik memetakan langkahku untuk sampai pada titik pencarianku.
Setiap lirak-lirik retinaku, kudapati diriku berkristalisasi bersama Kosmik.
Ribuan kata kasih kugandakan, kan kupencarkan ke arahmu,
dan kan kuuraikan dalam ragam bentuk semampuku.
*karna kosmik itu,, juga adalah kamu..*
Subscribe to:
Posts (Atom)