Sunday, January 29, 2012

disesaki cinta

Bunda menolak untuk tinggal bersama nenek dan memutuskan untuk membesarkan aku dan adik-adikku di rumah kami. Kuterpaku melihat kecintaan bunda pada ayah yang membuatnya berani menjalani perannya sebagai orang tua tunggal dengan lima anak.

Setelah senja memberi jeda bagi mentari untuk kembali menenun selendang jingga di ufuk  timur, Aku, bunda dan keempat adikku kembali ke Makassar melanjutkan hidup. Sepanjang perjalanan, hati kami terus menyatu dalam kelam dibalut kabut, mencoba kekar dengan hati penuh memar. Butuh waktu empat jam untuk sampai di rumah, tapi rasanya butuh bertahun-tahun untuk bisa hidup normal di rumah tanpa ayah.
                                                       ***
Kami tiba di rumah malam itu, bertabur tangis, berbasuh pedih. Kami berpencar ke kamar masing-masing, berpetualang dengan segala kesedihan, berpeluk duka, berselimut.

Kudengar rumahku hening, kurasa hati mereka ramai menangis. Kukenang kembali semua tentangnya, tulisannya, semangatnya, dan tentang perahu itu. Kurasakan rayuan ombak memaksaku menari dalam air, aku digoda arus, dihembus angin dari riak-riak lautan. Seketika luka kembali membuncah dalam hatiku
                                                       ***
Mainan pintu bergerak-gerak mendecit dibelai semilir angin. Mentari mengitip di ufuk timur, disoraki nyanyian merpati. Pagi yang pilu. Aku masih dalam lingkar duka. Bunda masih berputar-putar dalam pedih. Hatinya disesaki cinta, namun cintanya pergi. Aku menerjunkan diri menyelami tindakan ayah menyelamatkan Reza. Dia menyematkan seluruh kasih tanpa memperhitungkan hidup. Aku menciut dicengkeram penyesalan, diserang ribuan pertanyaan—mengapa tak kusegerakan diriku untuk belajar membalas kasihnya, mencintainya. Nafasku berat. Tangisku berderai. Batinku tersayat.

Kubuka lebar hatiku menerima kepergiannya. Aku ikhlas melepasnya. Aku berjanji seumur hidupku akan selalu kusertakan kasih dalam tiap langkah, kutitipkan doa dalam tiap shalat. Semoga Allah memuliakannya di sisi-Nya. Tak lama aku terdiam. Dan belajar untuk memaknai semuanya. Belajar untuk bersyukur atas apapun yang terjadi padaku. Aku yakin Allah sedang berusaha membentuk dan menyempurnakan diri dan hidupku.

Kulihat bunda bersimpuh dalam doanya. Melihatnya, aku lalu berjanji akan memancarkan seluruh kasihku padanya, merengkuhnya sebagai hartaku yang paling berharga.

Aku mencintaimu, bunda. Sungguh mencintaimu. Begitupun dirimu, ayah.

No comments:

Post a Comment