Sunday, January 29, 2012

aku dan mereka bertrotoar

Jika hidup seperti bohlam yang beraneka Watt yang bisa bertahan untuk bersinar, maka hidup patut diperhitungkan. Ketahanannya untuk bersinar berupa daya yang ditetapkan lebih awal, juga bergantung pada seberapa sering bohlam itu bersinar-sinar. Analogi bohlam itu tak lain menjelaskan bahwa setiap manusia dianugerahi panjang hidup yang variatif. Jika tetap menganalogikan bohlam seperti hidup—semakin banyak bersinar, semakin cepat mati. Akan tetapi, kunci dari analogi tersebut adalah seberapa tepat bohlam itu bersinar dicerminkan pada keefektifannya. Tak peduli seberapa lama hidup yang telah ditetapkan untuk seseorang, hidup patut untuk saling menyinari kehidupan yang lain dengan tepat. Becermin pada kehidupan banyak orang yang dipenuhi pengalaman tapi tak jua belajar skaligus becermin pada kehidupan segelintir orang yang hanya disinggahi pengalaman malah mampu menyinari kehidupan sesama sepanjang hidup, maka hidup bukan hanya pengalaman demi pengalaman namun patut digempur pengalaman demi pelajaran.

Pantai, jalanan, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang anak-anak jalanan. Dua pekanku bersama mereka tidak cukup untuk memulihkan otakku yang kian sulit menghafalkan nama-nama mereka. Perjalanan sepanjang Pantai Losari itu membuatku de javu saat kulintasi jejeran trotoar Losari di kala senja. 70 menit ternyata adalah serangkaian detak jarum jam yang merangkai pikiran anak-anak itu berlari menikmati langit sendu—bagiku di sore itu, yang menikung jauh dari trotoar dua pekan kami. Pelarian mereka tidak lain karena 70 menit adalah keterlambatanku menemui mimpi mereka untuk belajar selayak dua pekan yang singkat itu.

Bagiku, mereka masih amat kecil untuk merasakan sekedar ‘janji’ untuk memulai ‘mimpi’ yang kami utarakan kala itu. Dan kala itu, ada rasa yang merasuki ku—bagi sebagian orang disebut rasa bersalah, bersalah karena bak melemparkan kerikil pada air yang kemudian memecahkan air-air impian mereka.

Sepekan berangsur purnama beranjak meninggalkan penyesalanku. Aku mereka-reka arah, meraba samar ingatanku mengenai mimpiku, mimpi mereka—anak-anak jalanan.
Kudapati kompas dalam rekaanku, lalu terpana separuh takut untuk menjalani arah dari jarum yang mengantarku kembali memulai mimpi. Meskipun samar, detak-detak yang terus berdentum dalam jantungku, yang sesekali mengalirkan semangat di urat nadiku, yang sejurus kemudian berangsur-angsur membawaku bergulat dengan menghitung dayaku, ternyata berujung pada kegalauanku memulainya.

Pergulatan itu semakin rumit ketika sahabatku, Debra, entah seberapa langkah di hadapku telah berhasil mendirikan taman belajar untuk anak-anak di pemukiman penduduk yang berdampingan dengan kampus merah di kotaku.
Kembali dari  kekagumanku atasnya, aku bergegas ke pangkalan masa-masa aku ‘kecil’ dulu. Kusebut kecil karena masa itu aku baru belajar menghargai 70 menit yang kuabaikan di trotoar Losari. Kulepas tuas yang mengikat langkahku untuk maju, mimpi yang kutambatkan di seutas tali untuk berbagi bersama anak-anak jalanan melesat jauh dari yang kubayangkan, menikamku tepat di jantung, memeras otakku untuk mencari kata, dan inilah yang mampu kusebut sebagai pertaruhan, pertaruhan mengalahkan ketidakmampuanku untuk menghargai waktu.

Seketika lecutan mimpi untuk memulai pertemuanku dengan anak-anak itu meletup dalam pusaran yang dahsyat. Separuh decade nyaliku mengendap, sekilat petir memecahkan langit dukaku.

Antara mimpi, anak jalanan, dan hidup adalah hal tak terpisahkan untuk seorang Nurul Ichsani yang bertekad kembali memulai mimpi—mimpi untuk belajar, berbagi, dan bertrotoar. Barisan kata ini adalah titik dimana aku akan menambah nyali untuk melepas tuas, dan melesatkan apapun yang tertambat dalam perjalananku.

Anak-anak itu dan kehadirannya dalam ingatanku adalah yang pertama mengajariku melaju dari titik kegalauanku menuju titik Merah Putih*.

*sebuah nama untuk deretan trotoar kami.

1 comment:

  1. https://www.jonizatorvazduha.com/jonizatori-vazduha/ jonizator vazduha

    ReplyDelete