Trotoar dipenuhi tumpukan salju sore itu dan memenuhi pandanganku dan sahabatku-- Jessica (my roommate), Elaine, Zeva, Iman, dan Gufron. Kami berjalan sesekali berlari kecil, berkejaran di tumpukan salju. Kami terus berjalan melawan arus angin yang berpelukan dengan nafas si putih. Kami dicengkeram dingin sekalipun tubuh tertutup. Rempong. Berat dan keberatan menenteng seluruh kain dan bulu hewan di sekujur coat, shawl, gloves, heads, boots, hingga earmuff. Yah, tapi barisan gedung dan deretan salju, dan impian untuk mencicipi bumbu KGC (Kentucky Grill Chicken) menghalau segala rintangan dan cengkeraman dari segala yang menghadang.
Philly dan Amerika bersyukur memiliki Jane Golden, muralist dari Margate New Jersey, yang merangkai proyek seni untuk mengkampanyekan Philly Anti Grafiti. Philly bersinar, dilukis 2600 mural, penuh warna, berlumur kisah. Sungguh detail, dramatik, dan megah.
Setiap Mural meletupkan kisahnya sendiri. Merangkai mimpi. Merefleksikan hidup. Mengalirkan semangat di stiap mili darah. Isu kriminal, kekerasan, kritik, beragam kisah perjuangan, keyakinan dan agama, hingga kisah cinta terlukiskan dalam Mural. Orang-orang ramai melukiskan hati dengan lukisan dan seluruh simbol yang tersirat di dalamnya, lalu menunjukkannya agar setiap orang mampu memaknai setiap inci kehidupan. Bukan hanya dalam sebatas konteks jalanan dan persimpangan, melainkan mencakup konteks manusiawi menciptakan keindahan dramatis bersama di Philly.
Kami masih trus berjalan menapaki salju, mencicipi karya seni Mural, menjalani mimpi menyaksikan orang-orang saling menyinari kehidupan satu sama lain. Mimpi yang tersirat dalam Mural menggelitikku. Mengayuh mata menyelami rupa-rupa kisah. Mengantar mimpi tepat di pusaran keajaiban lalu menenggelamkan hati dalam rasa takjub.
Lampu-lampu jalan berderet menyeret sinar menghias malam. Hiasan malam bertabur. Tepi jalan kaya seni yang membujur di setiap lirik retinaku. Mural dan artisnya berparade tak hentinya dalam pancaran pesona warna.
Sungguh, Philly, betapa menggairahkannya diri’mu’..
Sunday, January 29, 2012
menapaki mutiara salju
Temple University, Philadelphia
Malam ini cerah dihiasi lampu jalan, dipenuhi putihnya salju. Area parkir dipenuhi mobil yang ditutupi butiran salju. Ranting pohon pun memutih bak berhias mutiara. Tiupan angin seakan tak berhenti menggelitik setiap inci tubuhku yang tak kututupi. Tiupannya sesekali memaksa menari tak keruan. Aku dicengkeram dingin dalam suhu minus. Kulihat lagi butiran-butiran salju yang trus menggodaku. Butir-butirnya sesekali melompat ke kepalaku, meninggalkan ranting pohon yang kering.
Jalan-jalan besar diselingi jalan-jalan besar lainnya tepat di atas jalan yang kupijak. Aku menelan ludah, seketika kusadar masih ada jalan lagi di bawah tanah yang kupijak. Bus yang mengantarkanku hingga ke Temple University Philadelphia membuka pintu sejarah bagiku di tempat bersejarah ini. Chirstianity dan perjuangan pendirian Grace Baptist Church yang dipimpin oleh Dr. Russel Conwel dimulai dari basement Conwell Baptist Temple. Gedung-gedung pencakar berhias lampu menghias kota Philly, ditimpali perumahan orang-orang kulit hitam yang melukiskan wajah keluarga mereka di setiap tembok luar rumah. Aku menyaksikan kasih dipaut dalam goresan artsitik. Sungguh kota ini kaya seni.
Bus mengantar retinaku menyaksikan tembok-tembok gedung universitas. Tembok yang tepinya didesain bak kastil. Kastil yang kusentuh hanya melalui film Hollywood. Kusaksikan bendera-bendera merah bertuliskan huruf T, simbol universitas berbaris menghias jalan. Bendera itu menari-nari ditiup semilir angin. Kadang berjingkrak. Melipat. Lalu sesekali membentangkan merahnya dengan utuh.
Anak-anak tupai melompat-lompat kegirangan. Berkelompok mencari rumah. melarikan diri dari cengkeraman dingin. Sementara kami tak hentinya berjalan dengan tawa yang terus membahana menyaksikan salju yang kami tapaki. Hingga tak sadar, sepatu yang kukenakan kini berubah warna, dari biru menjadi putih. Kurasa jari-jari kakiku kaku, memintaku untuk segera menghangatkannya. Tapi putih ini tak hentinya menarikku trus meninggalkan jejak menapaki kelembutannya. Sungguh, aku tak sadar aku sedang menjalani mimpi-mimpiku.
Terima kasih, tuhan.. atas segala keajaiban yang trus dituliskan untukku. Aku tak sabar menuliskan sederet keajaiban lainnya. Aku tak lagi menjelang mimpi. Aku sedang menjalani mimpi-mimpi itu.
Park in Conwell Inn and Temple University
Malam ini cerah dihiasi lampu jalan, dipenuhi putihnya salju. Area parkir dipenuhi mobil yang ditutupi butiran salju. Ranting pohon pun memutih bak berhias mutiara. Tiupan angin seakan tak berhenti menggelitik setiap inci tubuhku yang tak kututupi. Tiupannya sesekali memaksa menari tak keruan. Aku dicengkeram dingin dalam suhu minus. Kulihat lagi butiran-butiran salju yang trus menggodaku. Butir-butirnya sesekali melompat ke kepalaku, meninggalkan ranting pohon yang kering.
Jalan-jalan besar diselingi jalan-jalan besar lainnya tepat di atas jalan yang kupijak. Aku menelan ludah, seketika kusadar masih ada jalan lagi di bawah tanah yang kupijak. Bus yang mengantarkanku hingga ke Temple University Philadelphia membuka pintu sejarah bagiku di tempat bersejarah ini. Chirstianity dan perjuangan pendirian Grace Baptist Church yang dipimpin oleh Dr. Russel Conwel dimulai dari basement Conwell Baptist Temple. Gedung-gedung pencakar berhias lampu menghias kota Philly, ditimpali perumahan orang-orang kulit hitam yang melukiskan wajah keluarga mereka di setiap tembok luar rumah. Aku menyaksikan kasih dipaut dalam goresan artsitik. Sungguh kota ini kaya seni.
Bus mengantar retinaku menyaksikan tembok-tembok gedung universitas. Tembok yang tepinya didesain bak kastil. Kastil yang kusentuh hanya melalui film Hollywood. Kusaksikan bendera-bendera merah bertuliskan huruf T, simbol universitas berbaris menghias jalan. Bendera itu menari-nari ditiup semilir angin. Kadang berjingkrak. Melipat. Lalu sesekali membentangkan merahnya dengan utuh.
Anak-anak tupai melompat-lompat kegirangan. Berkelompok mencari rumah. melarikan diri dari cengkeraman dingin. Sementara kami tak hentinya berjalan dengan tawa yang terus membahana menyaksikan salju yang kami tapaki. Hingga tak sadar, sepatu yang kukenakan kini berubah warna, dari biru menjadi putih. Kurasa jari-jari kakiku kaku, memintaku untuk segera menghangatkannya. Tapi putih ini tak hentinya menarikku trus meninggalkan jejak menapaki kelembutannya. Sungguh, aku tak sadar aku sedang menjalani mimpi-mimpiku.
Terima kasih, tuhan.. atas segala keajaiban yang trus dituliskan untukku. Aku tak sabar menuliskan sederet keajaiban lainnya. Aku tak lagi menjelang mimpi. Aku sedang menjalani mimpi-mimpi itu.
Park in Conwell Inn and Temple University
doa di tengah deburan
Sebuah benda bulat merah jingga muncul perlahan di kaki langit. Pagi merekah. Dalam euphoria akademika yang memesonaku, kulangkahkan kaki hingga ke ruang dimana akan kubagi ilmu yang kupunya kepada mereka yang kusaksikan dengan jelas semangatnya terekstrapolasi untuk menanjak, yang menjebak hidupnya dalam menerima ribuan ilmu, yang membua pikirannya untuk bertarung meraih mimpinya.
Di sinilah aku saksikan manusia-manusia yang terus menghirup candu ilmu, yang wajahnya merona-rona menantikan mimpinya. Yang kuajarkan pada mereka adalah bahasa inggris, namun semangat, keteguhan, dan keyakinan yang mereka miliki mengajarkanku banyak hal tentang mimpi yang luar biasa dan apa artinya menjadi manusia dengan mimpi yang bertaburan. Mereka telah menjadi guru yang baik bagiku dan menikmati waktu bersama mereka adalah pengalaman yang bergelimang anugerah.
Lebih dari yang kuajarkan pada mereka, aku ingin mereka mengecap setiap sensasi yang dihadirkan oleh mimpi dan harapan dan ingin kubagi bagaimana kebahagiaan menghampiri ketika jiwa penuh mimpi dan seraya alam semesta berdoa atas mimpi-mimpi itu.
Dalam kelas, menjadi seorang pengajar, aku berikan dasar ilmu sebagai landasan bagi mereka untuk berpijak, kubagi cerita tentang mimpi-mimpiku dan seberapa kuat aku berpegang dan memperjuangkannya. Dan di akhir pertemuan, kuberikan mereka sayap untuk terbang memikirkan dan merasakan apa pun yang mereka inginkan serta menjelajahi dunia yang mereka punya.
Satu mimpiku yang mereka tahu adalah aku berniat menyelesaikan skripsi dan meraih gelar sarjanaku Maret tahun ini. telah kucurahkan semua semampuku menekuni skripsi karyaku sejak desember lalu. Dan hingga Januari siang ini, kurasakan euphoria wisuda kian menyelimutiku.
Namun entah seperti apa awalnya, kepedihan seakan tercetak di keningku. Jantungku berayun-ayun. Hatiku hancur dihantam beruntun mendengar ucapan front officer menuturkan deretan kata yang seketika membuatku ambruk ditumpuki sesak. Notebook yang kupercayakan kepadnya dan Security untuk dititipkan ternyata telah hilang.
Kakiku tak teguh, bergetar. Pipiku basah oleh airmata, berkilat-kilat. File-file skripsi yang akan kuajukan untuk mengejar ujian bulan Februari, dan form beasiswa studiku yang hendak kukirimkan minggu itu telah lenyap. Aku terguncang menyadari mimpiku runtuh. Paru-paruku tercekat. Jantungku ditabuh. Hatiku dikepung sakit.
Kurasakan duka dalam hatiku. Mendung seakan menutupi separuh langit. Hujan akan tumpah. Yang menjadi pikirku adalah bagaimana aku melanjutkan cerita hidupku kepada siswa-siswaku di tengah diri yang kini merunduk setengah redup menekuri takdirku.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang di hatiku. Dan seperti laut, aku diam hingga kuharap waktu yang akan menyamarkan sedihku.
* * *
Tak hentinya kutangisi hidupku hingga kusadari ada seorang sahabat yang hatinya juga menangisi hidupku. Rasanya itulah yang kemudian membuatku kembali mengekstrapolasikan kurva semangatku, melanjutkan mimpiku, dan kembali bertarung. Kurasakan kembali mimpiku sebenderang bulan malam ini.
Tak hentinya kutangisi hidupku hingga kusadari ada seorang sahabat yang hatinya juga menangisi hidupku. Rasanya itulah yang kemudian membuatku kembali mengekstrapolasikan kurva semangatku, melanjutkan mimpiku, dan kembali bertarung. Kurasakan kembali mimpiku sebenderang bulan malam ini.
Mimpi-mimpi itu terasa kuat menggerogotiku lalu kusadari, kehilangan laptop benar bisa meruntuhkan mimpiku saat itu. Namun, dengan jiwa penuh radang ini kuberanikan diri untuk bangkit. kubangun reruntuhan mimpiku kembali di tengah ketidakmungkinan. Kuhaturkan doa-doa di tengah deburan yang menyambar. Ketika ku menyusut hingga anjlok, aku mematung hingga mimpiku kembali melintas dan berkelap-kelip di ujung khayalku. Hatiku meriah membayangkannya. Kudesak diriku menerobos ketidakmungkinan itu. aku terus terhuyung mendekati mimpiku. Hingga keajaiban bersekutu dengan takdir menghadirkan 'wisudaku' di depan mata.
Kupahami betapa sempurnanya Tuhan menyusun potongan-potongan mozaik hidupku yang sedetik kemudian kurasakan bentuk baru dari diriku.
Benar, aku punya mimpi, namun ada banyak hal di luar dari diriku yang juga berhak untuk tampil dan menari-nari di dalamnya. Namun aku yakin Tuhan selalu menyimak apa yang diisyaratkan oleh sebuah benda ajaib dalam diri ku.
Dan dengan bisikan mimpi selembut sutra dari Kashmir, berbuat yang terbaik di mana aku berdiri sejak Januari dan dengan didampingi oleh sahabat setiaku yang jiwanya seluas langit, aku menyambut gelar sarjanaku di bulan Juni setelah sebagian dari diriku mengkhianati sebagian diriku yang penuh ketakutan dan kepasrahan.
Bunda......
Tidak banyak cerita tentangnya dalam hidupku. Ketika aku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, dia meninggal di hari kedua hari raya Idul Fitri. Aku masih sangat kecil untuk hidup hanya bersandar pada bunda. Bunda yang sungguh setia cinta dalam hatinya. Bunda yang hidupnya jatuh hati pada setiap sendi hidup Ayah. Bunda yang setiap suku katanya adalah gambaran seni kasihnya juga pada Ayah.
Senyum bunda manis tak terperikan. Kepalanya dibalut jilbab menyiratkan kemenangan bagi dirinya sebagai perempuan atas agama, iman, dan dunianya. Bunda lebih dari segala-galanya sang rembulan, permata hati. Hidunnya tinggi. Bibirnya tipis. Walau hatinya tak selalu semanis malaikat, bunda menggambarkan kecantikan berlipat-lipat.
Hati bunda masih tertusuk duri. Hubungan kami tergambar dari sorot mata dan gerak-geriknya yang sedingin es. Semangatku tiarap. Aku gelap mata memandang masa depanku dan adik-adikku. Aku hilir mudik lalu terjepit mencari perhatiannya.
Aku berketetapan hati menulis sebuah surat untuknya, mengakhiri kemacetan yang menjebak hidup kami.
Mencoba menyentuhmu, Bunda..
Jalan hidup itu lurus, biasa menikung, kadang menanjak, bisa menurun, mengambang, mengesankan, dan ujungnya bisa menikam. Hidup pastinya berliku, dihiasi deretan kebahagiaan berselang-seling dengan kepedihan garis takdir.
Bunda bisa saja memilih untuk runtuh dan padam, namun ada kami bersedia memantik bara untuk saling menguatkan. Kami terapung-apung dalam rengkuhan hidup penuh lautan pilu. Kami butuh Bunda mengantarkan kami ke dermaga.
Cinta kami untukmu, Bunda. Selalu.
Matanya berair hingga kulihat serpihan-serpihan cahaya melesat-lesat di bola matanya. Lalu air matanya meleleh. Dia merubungku penuh kasih. Dia terharu, hatiku gemuruh. Nafasku macet. Rasa pahit mencengkeramku seperti mengunyah getah, lalu tiba-tiba Bunda datang menyuguhkan madu untuk memulai kebahagiaan, lalu menggandengku untuk belajar bersama menguatkan diri.
***
Bundaku tak ubahnya meletupkan cita-cita agung pada ku, Adela, Uga, Arez, dan Mikha, saat batinnya mendidih sekalipun. Seringkali bunda mendapati nenek sedang memarahi kami karena tak satupun dari kami yang tergerak tangannya melakukan pekerjaan rumah tangga. Bunda lalu datang menghampiri dengan sayap-sayap malaikatnya berkata “mereka tidak kubiarkan untuk melakukan pekerjaan itu karena tugas mereka menjadi anakku adalah menghirup candu ilmu. Aku ingin mereka berkompetisi dengan anak-anak lainnya yang masih memiliki ayah. Tak akan hentinya aku membisikkan mimpi di telinganya hingga mereka mampu buktikan bahwa kehilangan seorang ayah tidak membuat mereka kekurangan pendidikan. Kehilangan ayah telah menjadi beban berat bagi mereka menghadapi dunia, jadi tak akan ada pekerjaan rumah yang kubebankan padanya. Anak-anakku butuh waktu dan kerja keras untuk mengukir prestasi dan menjadi anak-anak yang sukses. Sekuat tenaga aku berusaha memenuhi tugasku menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka karna aku tak ingin mereka merasa berbeda dengan yang lain hanya karena mereka tak punya ayah. Dan akan kucukupkan kasih dan sayangku hingga mereka merasa hidup mereka tetap sempurna.”
Hati bunda benar-benar keras seperti tembaga. Kata-katanya berkilauan walau kusadar setiap katanya tersirat luka yang dalam kehilangan ayah. Kata-katanya benar-benar menusuk pori-pori. Nenek lalu dihantam penyesalan yang membuatnya menundukkan wajah lalu pergi meninggalkan kami. Aku yakin apa yang kurasakan dan pikirkan sama dengan apa yang memenuhi hatinya saat ini. Haru tak dapat kutahan melihat betapa putihnya hati bunda. Aku bersumpah untuk menjadi anak yang baik dan cerdas yang seluruh cinta kubentangkan padanya sepanjang rentang waktu dan ruang-ruang.
Bunda mengajariku menyusun mimpi-mimpi, menjadi manusia yang moralnya terus meningkat, bunda menumbuhkan sayap-sayap kecilku, menyatukan kepingan-kepingan hidupku menjadi sosok mandiri.
Kekuatan bunda menjalani kenyataan mimpi berpijar-pijar dalam istana kami. Kadang serentetan bahasanya menampar hati, sepelemparan batu kesal memercikkan riak-riak keemasannya. Saat marah, nada-nadanya riang bereskalasi. Ketulusannya tak terukur. Kasihnya terburai-burai, bertumpah-ruah. Bundaku bergelimang pesona menandingi konstelasi galaksi.
berlinang mimpi dan keajaiban
Malam itu indah. Bulan muncul lalu bersembunyi di gumpalan-gumpalan awan. Selempang sinar lampu jalan jingga menyinari jalan. Hatiku penuh suka. senyumku mengambang. lesung mungilku pun mengintip-intip bahagiaku. Wajahku merona-rona. Yaa, itulah yang slalu kurasakan setelah bertemu dengan siswa-siswaku.
Sahabatku yang jiwanya seluas langit itu, tak lama lagi akan menampakkan matanya yang entah mengapa selalu saja berbinar-binar melihatku. Yang entah mengapa pula, aku demam panggung tiap kali melihatnya.
Jalan kian ramai mengiringi hatiku yang kian meriah menantinya. Namun tak lama kemudian, handphone ku bergetar, rupanya bunda memintaku membelikannya buah di supermarket yang terletak di seberang tempat ku mengajar. Kulihat jalan berbinar-binar. Menyilaukan mataku. Suara klakson dan mesin kendaraan beradu. Pengendara malam itu, sungguh liar yang membuatku takut untuk menerobosnya. Jalan di hadapku samar. Kuteropong jalan, kusipitkan mata. Setiap kumajukan satu langkah ke depan, kususul dengan mundur tiga langkah. Tuhan,, Aku sungguh takut!
Entah mengapa, tiba-tiba, aku merasa Tuhan telah menjawab doaku, sungguh cepat! Keajaiban menghampiriku, keberanianku membuncah. Terus kulangkahkan kaki ku, sungguh cepat. Yup, satu langkah lagi. Tak henti-hentinya, kusisipkan doa dalam takutku itu. Dan, suatu keajaiban lain menghampiri. seseorang yang mengendarai motor berhasil menyalip kendaraan lainnya yang sedetik kemudian menghantam kaki kiriku dan aku pun menjalani 'keajaiban' lainnya.
***
Darah segar mengalir deras, membanjiri sepatuku, melumuri kakiku. Mataku dinaungi air. Kurasakan badanku berkibar-kibar. Aku merintih keras semampuku di tengah jalan penuh riuh. aku mulai kerut. aku menjelang rubuh.
Aku dilarikan ke rumah sakit yang sejam kemudian kudapatkan belasan jahitan di tumitku. Aku terus merintih kesakitan, semakin sakit ketika kubayangkan aku tak bisa berjalan normal untuk beberapa minggu ke depan.
Kulihat hidupku miris, wajahku murung. Tinggal di rumah, memelototi deretan jahitan ini membuatku terperosok dalam sekali. Aku tak ingin menghabiskan hariku dengan terus bermimpi tanpa menjalaninya.
Tak cukup seminggu kuhabiskan waktu di kamar, aku bertekad untuk kembali mengajar dan melanjutkan aktivitasku. Tentu saja, tak ada yang sepakat dengan keputusanku itu. Namun apa dikata jika hati telah mengeras seperti tembaga.
Keesokan harinya, bunda membelikanku sebuah tongkat yang dengan tongkat itulah aku berlatih melompat sepanjang malam.
Aku bahagia bisa kembali merasakan naik motor bersama sahabatku. Hatiku kembali meriah, wajahku berangsur cerah, rambutku kembali tersibak diterpa angin dan dilumuri sinar dan bau mentari.
Bahagiaku terasa menanjak ketika kuayukan tongkatku memasuki pintu kantorku seraya melompat-lompat dengan tongkat yang kgenggam kuat dengan tangan kiriku. Aku lalu dikerumuni, diserbu pertanyaan oleh siswaku dan ketidakpercayaannya melihatku berdiri di hadapannya dengan tongkat yang sama sekali tidak menurunkan kualifikasi cantik dari diriku.
Kukatakan pada mereka, mengklasrifikasi semua kejadian yang menimpaku dan menjelaskan bagaimana aku lalu digerogoti semangat berlipat-lipat untuk kembali berbagi bersama mereka:
“Motor itu bisa saja melemparkanku ke trotoar, menghadiahiku luka, dan menyematkan trauma yang dalam. Tapi, sejak itu, setiap kali aku jatuh, hatiku merasa Tuhan menitipkan alasan padaku untuk meyakini 'aku masih bisa bangkit.'
Namun, kusadari, bahkan ketika aku berjalan dalam rangkaian yang memeras air mataku, kuyakin itulah keajaiban Tuhan meskipun secara konotatif. Dan, saat ku telah melaluinya, sepertinya Tuhan merangkai keajaiban baru secara denotatif untuk ku.”
Seperti kumbang berkilauan terbias warna warni daun maranta, kusadari hidup itu tersusun oleh serpihan-serpihan suka dan duka yang mewarna. Duka yang mengharu biru dan suka bak lazuardi menyala-nyala adalah tatanan yang sempurna untuk menguatakan fondasi diri hingga kusadari hal-hal yang membuatku jatuh ternyata juga membuatku kuat. Dan itulah rangkaian keajaiban dari Tuhan untuk terus menyempurnakan hidupku.
disesaki cinta
Bunda menolak untuk tinggal bersama nenek dan memutuskan untuk membesarkan aku dan adik-adikku di rumah kami. Kuterpaku melihat kecintaan bunda pada ayah yang membuatnya berani menjalani perannya sebagai orang tua tunggal dengan lima anak.
Setelah senja memberi jeda bagi mentari untuk kembali menenun selendang jingga di ufuk timur, Aku, bunda dan keempat adikku kembali ke Makassar melanjutkan hidup. Sepanjang perjalanan, hati kami terus menyatu dalam kelam dibalut kabut, mencoba kekar dengan hati penuh memar. Butuh waktu empat jam untuk sampai di rumah, tapi rasanya butuh bertahun-tahun untuk bisa hidup normal di rumah tanpa ayah.
***
Kami tiba di rumah malam itu, bertabur tangis, berbasuh pedih. Kami berpencar ke kamar masing-masing, berpetualang dengan segala kesedihan, berpeluk duka, berselimut.
Kudengar rumahku hening, kurasa hati mereka ramai menangis. Kukenang kembali semua tentangnya, tulisannya, semangatnya, dan tentang perahu itu. Kurasakan rayuan ombak memaksaku menari dalam air, aku digoda arus, dihembus angin dari riak-riak lautan. Seketika luka kembali membuncah dalam hatiku
***
Mainan pintu bergerak-gerak mendecit dibelai semilir angin. Mentari mengitip di ufuk timur, disoraki nyanyian merpati. Pagi yang pilu. Aku masih dalam lingkar duka. Bunda masih berputar-putar dalam pedih. Hatinya disesaki cinta, namun cintanya pergi. Aku menerjunkan diri menyelami tindakan ayah menyelamatkan Reza. Dia menyematkan seluruh kasih tanpa memperhitungkan hidup. Aku menciut dicengkeram penyesalan, diserang ribuan pertanyaan—mengapa tak kusegerakan diriku untuk belajar membalas kasihnya, mencintainya. Nafasku berat. Tangisku berderai. Batinku tersayat.
Kubuka lebar hatiku menerima kepergiannya. Aku ikhlas melepasnya. Aku berjanji seumur hidupku akan selalu kusertakan kasih dalam tiap langkah, kutitipkan doa dalam tiap shalat. Semoga Allah memuliakannya di sisi-Nya. Tak lama aku terdiam. Dan belajar untuk memaknai semuanya. Belajar untuk bersyukur atas apapun yang terjadi padaku. Aku yakin Allah sedang berusaha membentuk dan menyempurnakan diri dan hidupku.
Kulihat bunda bersimpuh dalam doanya. Melihatnya, aku lalu berjanji akan memancarkan seluruh kasihku padanya, merengkuhnya sebagai hartaku yang paling berharga.
Aku mencintaimu, bunda. Sungguh mencintaimu. Begitupun dirimu, ayah.
Setelah senja memberi jeda bagi mentari untuk kembali menenun selendang jingga di ufuk timur, Aku, bunda dan keempat adikku kembali ke Makassar melanjutkan hidup. Sepanjang perjalanan, hati kami terus menyatu dalam kelam dibalut kabut, mencoba kekar dengan hati penuh memar. Butuh waktu empat jam untuk sampai di rumah, tapi rasanya butuh bertahun-tahun untuk bisa hidup normal di rumah tanpa ayah.
***
Kami tiba di rumah malam itu, bertabur tangis, berbasuh pedih. Kami berpencar ke kamar masing-masing, berpetualang dengan segala kesedihan, berpeluk duka, berselimut.
Kudengar rumahku hening, kurasa hati mereka ramai menangis. Kukenang kembali semua tentangnya, tulisannya, semangatnya, dan tentang perahu itu. Kurasakan rayuan ombak memaksaku menari dalam air, aku digoda arus, dihembus angin dari riak-riak lautan. Seketika luka kembali membuncah dalam hatiku
***
Mainan pintu bergerak-gerak mendecit dibelai semilir angin. Mentari mengitip di ufuk timur, disoraki nyanyian merpati. Pagi yang pilu. Aku masih dalam lingkar duka. Bunda masih berputar-putar dalam pedih. Hatinya disesaki cinta, namun cintanya pergi. Aku menerjunkan diri menyelami tindakan ayah menyelamatkan Reza. Dia menyematkan seluruh kasih tanpa memperhitungkan hidup. Aku menciut dicengkeram penyesalan, diserang ribuan pertanyaan—mengapa tak kusegerakan diriku untuk belajar membalas kasihnya, mencintainya. Nafasku berat. Tangisku berderai. Batinku tersayat.
Kubuka lebar hatiku menerima kepergiannya. Aku ikhlas melepasnya. Aku berjanji seumur hidupku akan selalu kusertakan kasih dalam tiap langkah, kutitipkan doa dalam tiap shalat. Semoga Allah memuliakannya di sisi-Nya. Tak lama aku terdiam. Dan belajar untuk memaknai semuanya. Belajar untuk bersyukur atas apapun yang terjadi padaku. Aku yakin Allah sedang berusaha membentuk dan menyempurnakan diri dan hidupku.
Kulihat bunda bersimpuh dalam doanya. Melihatnya, aku lalu berjanji akan memancarkan seluruh kasihku padanya, merengkuhnya sebagai hartaku yang paling berharga.
Aku mencintaimu, bunda. Sungguh mencintaimu. Begitupun dirimu, ayah.
..........lalu, dia pergi
Hari ini cerah. Langit biru. Kami sumringah. Tawa membahana di pantai pasir putih itu. Gunung membentang di hadapan hamparan laut. Tebingnya menjulang. Aroma garam menyengat. Kami ingin melaut.
Sungguh perahu itu mungil untuk mengangkut empat belas orang. Kami melawan arus, bergerak dengan kekuatan dua dayung tanpa mesin. Tawa meluap namun pikirku aneh, rasaku mengganggu batinku. Aku akui begitu takut. Takut berada di air.
Sesosok makhluk aneh di air menyelam di sebelah perahu kami. Begitu detail aku melihatnya, berbulu panjang, tubuhnya lonjong, berwarna coklat kehitaman. Rasa takut memenuhi dadaku. Dadaku menggembung. Nafasku tersendat. Mataku membulat.Ketakutanku melihat makhuk aneh itu membuatku tak megacuhkan sekelilingku.
Tak lama kemudian,laut mengamuk, ombak menghantam, perahu kami pun terbalik. Kusadari diriku telah berada dalam air dan kami teriak namun tak mengeluarkan suara sama sekali. Yah, kami tenggelam, terbuang-buang dalam desakan air.
Kucoba berenang mencapai dasar laut, tapi tak bisa. Kucoba untuk naik ke permukaan dengan segala ketidaktahuanku dalam berenang. Kucoba menggerakkan kaki dan tangan, mengeksplor semua gerakan yang aku bisa. Hingga keajaiban hadir membawaku bertemu kembali dengan keluargaku di permukaan air. Kami berpeluk di perahu kami yang terbalik. Allah maha kuasa menyelamatkan kami semua. Padahal, dari tujuh belas orang yang berada di perahu, hanya tiga orang yang bisa berenang : ayah, tante, dan iwan—supir pamanku.
Belum selesai kami bernafas panjang, ombak kembali datang, menghantam perahu kami. Kami teriak sekencang-kencangnya. Kami bergerak sebanyak-banyaknya, berenang sekonyong-konyongnya, dan beserah pada air hingga membawa kami kembali ke permukaan. Tak lama, kami berhasil melihat kebesaran Allah kembali. Kami kembali berpeluk, berpegang kuat pada perahu, dan serentak berteriak meminta pertolongan. Kami menangis sejadi-jadinya.
Kuperhatikan adikku : Ila dan Mika, tanteku : Api, Uccank, dan Arfa, pamanku Ayah, dan sepupupku : via, ari, dan riah. Sementara sisanya, entah dimana. Kucoba berbalik, dan kusaksikan tebing menjulang tinggi, pepohonan menari-nari dirayu angin pantai. Aku pasrah ketika kusadari tak akan ada bantuan yang akan datang. Ketakutanku meletup-letup. Aku berurai peluh. Kami tak kan terlihat, kami terguncang bebas di balik tebing-tebing itu. Tak akan ada yang melihat apa yang sedang terjadi—menimpa kami.
Sungguh Allah Maha Kuasa, kuasa membalikkan perahu kami sekali lagi, kuasa mendatangkan ombak, menghantam kami. Buih-buih ombak menyapu harap, arus mengusap air mata, dan ujung perahu menghantam otak kecil ayah. Dia mengapung, terlentang di lautan. Mulutnya berbusa, wajahnya memutih, matanya menutup, kami teriak, menangis, teriak, terisak. Sungguh Allah Maha Kuasa dan kami tak kuasa.
***
Entah siapa yang berinisiatif mendaki tebing tinggi itu, dan menyaksikan kami menjalani takdir terbuang-buang di lautan. Pertolongan tiba. Menolong ayah yang tubunya sudah kaku. Kami dibopong satu persatu seperti ayah yang menyelamatkan nyawa adikku Reza tepat sebelum otak kecilnya dihantam perahu. Kusaksikan tubuhnya dibalik, kepalanya di bawah, kakinya di atas, tubuhnya diguncang-guncang, air mengalir dari mulutnya bercampur busa. Aku terisak, teriak memanggilnya hingga aku tak sadarkan diri, aku telah berada di sebuah bangunan bertembok putih.
Kami menunggu kabar tentang dia di mobil. Keluargaku pusing, berlimpah duka, berlumur takut. Takut jika terjadi sesuatu padanya. Kami mencintainya, ingin terus bersamanya. Bunda mengusap-usap kepalaku dan adikku sembari menjelaskan betapa paniknya dia menantikan kami kembali dari berperahu lebih dari tiga jam. Tak kusangka kami bisa bertahan lebih dari tiga jam terombang-ambing di laut. Kulihat dia merasa lega melihat kami kembali, tapi ada ketakutan besar menyelimutinya.
Ketakutannya menjelma kepedihan ketika nenek melambaikan tangan ke arah kami. Lambaian itu mengisyaratkan ayah telah kembali ke sisi-Nya, pergi dari kami, meninggalkan hari bersama kami—bunda, aku, dan keempat adikku.
Langit runtuh, hujan mengguyur, petir menyambar, guntur meracau, semuanya menghantam kepedihan kami.
Aku berlari turun dari mobil, berlari memastikan isyarat nenek. Di kamar bertembok putih itu, tubuhnya dibaringkan, diselimuti kain putih, diiringi tangisan. Aku menatapnya dalam, bibirku terkatup, mataku berair, dadaku sesak menggerutu pada Tuhan yang telah mengambilnya dariku, dari kami.
Nenek menarikku keluar, tapi aku menolak. Paman datang membantu nenek membawaku keluar, namun aku tetap bertahan untuk berada di dalam, aku teriak memanggilnya dan menangis sekencang-kencangnya hingga kurasa tubuhku melemah, dan aku kembali tak sadarkan diri.
Keesokan harinya adalah hari pemakamannya. Mobil yang kami gunakan bergerak membawanya menuju kampung halamannya. Di sanalah dia akan dimakamkan. Di tempat itulah, kami kembali mengeluarkan berliter-liter air mata, menyaksikan orang beramai-ramai menutupnya dengan tanah. Hingga nisannya tertancap, ribuan duri menancap luka, jutaan duka menghimpit hati.
Sungguh perahu itu mungil untuk mengangkut empat belas orang. Kami melawan arus, bergerak dengan kekuatan dua dayung tanpa mesin. Tawa meluap namun pikirku aneh, rasaku mengganggu batinku. Aku akui begitu takut. Takut berada di air.
Sesosok makhluk aneh di air menyelam di sebelah perahu kami. Begitu detail aku melihatnya, berbulu panjang, tubuhnya lonjong, berwarna coklat kehitaman. Rasa takut memenuhi dadaku. Dadaku menggembung. Nafasku tersendat. Mataku membulat.Ketakutanku melihat makhuk aneh itu membuatku tak megacuhkan sekelilingku.
Tak lama kemudian,laut mengamuk, ombak menghantam, perahu kami pun terbalik. Kusadari diriku telah berada dalam air dan kami teriak namun tak mengeluarkan suara sama sekali. Yah, kami tenggelam, terbuang-buang dalam desakan air.
Kucoba berenang mencapai dasar laut, tapi tak bisa. Kucoba untuk naik ke permukaan dengan segala ketidaktahuanku dalam berenang. Kucoba menggerakkan kaki dan tangan, mengeksplor semua gerakan yang aku bisa. Hingga keajaiban hadir membawaku bertemu kembali dengan keluargaku di permukaan air. Kami berpeluk di perahu kami yang terbalik. Allah maha kuasa menyelamatkan kami semua. Padahal, dari tujuh belas orang yang berada di perahu, hanya tiga orang yang bisa berenang : ayah, tante, dan iwan—supir pamanku.
Belum selesai kami bernafas panjang, ombak kembali datang, menghantam perahu kami. Kami teriak sekencang-kencangnya. Kami bergerak sebanyak-banyaknya, berenang sekonyong-konyongnya, dan beserah pada air hingga membawa kami kembali ke permukaan. Tak lama, kami berhasil melihat kebesaran Allah kembali. Kami kembali berpeluk, berpegang kuat pada perahu, dan serentak berteriak meminta pertolongan. Kami menangis sejadi-jadinya.
Kuperhatikan adikku : Ila dan Mika, tanteku : Api, Uccank, dan Arfa, pamanku Ayah, dan sepupupku : via, ari, dan riah. Sementara sisanya, entah dimana. Kucoba berbalik, dan kusaksikan tebing menjulang tinggi, pepohonan menari-nari dirayu angin pantai. Aku pasrah ketika kusadari tak akan ada bantuan yang akan datang. Ketakutanku meletup-letup. Aku berurai peluh. Kami tak kan terlihat, kami terguncang bebas di balik tebing-tebing itu. Tak akan ada yang melihat apa yang sedang terjadi—menimpa kami.
Sungguh Allah Maha Kuasa, kuasa membalikkan perahu kami sekali lagi, kuasa mendatangkan ombak, menghantam kami. Buih-buih ombak menyapu harap, arus mengusap air mata, dan ujung perahu menghantam otak kecil ayah. Dia mengapung, terlentang di lautan. Mulutnya berbusa, wajahnya memutih, matanya menutup, kami teriak, menangis, teriak, terisak. Sungguh Allah Maha Kuasa dan kami tak kuasa.
![]() |
Pantai Dato', West Sulawesi |
***
Entah siapa yang berinisiatif mendaki tebing tinggi itu, dan menyaksikan kami menjalani takdir terbuang-buang di lautan. Pertolongan tiba. Menolong ayah yang tubunya sudah kaku. Kami dibopong satu persatu seperti ayah yang menyelamatkan nyawa adikku Reza tepat sebelum otak kecilnya dihantam perahu. Kusaksikan tubuhnya dibalik, kepalanya di bawah, kakinya di atas, tubuhnya diguncang-guncang, air mengalir dari mulutnya bercampur busa. Aku terisak, teriak memanggilnya hingga aku tak sadarkan diri, aku telah berada di sebuah bangunan bertembok putih.
Kami menunggu kabar tentang dia di mobil. Keluargaku pusing, berlimpah duka, berlumur takut. Takut jika terjadi sesuatu padanya. Kami mencintainya, ingin terus bersamanya. Bunda mengusap-usap kepalaku dan adikku sembari menjelaskan betapa paniknya dia menantikan kami kembali dari berperahu lebih dari tiga jam. Tak kusangka kami bisa bertahan lebih dari tiga jam terombang-ambing di laut. Kulihat dia merasa lega melihat kami kembali, tapi ada ketakutan besar menyelimutinya.
Ketakutannya menjelma kepedihan ketika nenek melambaikan tangan ke arah kami. Lambaian itu mengisyaratkan ayah telah kembali ke sisi-Nya, pergi dari kami, meninggalkan hari bersama kami—bunda, aku, dan keempat adikku.
Langit runtuh, hujan mengguyur, petir menyambar, guntur meracau, semuanya menghantam kepedihan kami.
Aku berlari turun dari mobil, berlari memastikan isyarat nenek. Di kamar bertembok putih itu, tubuhnya dibaringkan, diselimuti kain putih, diiringi tangisan. Aku menatapnya dalam, bibirku terkatup, mataku berair, dadaku sesak menggerutu pada Tuhan yang telah mengambilnya dariku, dari kami.
Nenek menarikku keluar, tapi aku menolak. Paman datang membantu nenek membawaku keluar, namun aku tetap bertahan untuk berada di dalam, aku teriak memanggilnya dan menangis sekencang-kencangnya hingga kurasa tubuhku melemah, dan aku kembali tak sadarkan diri.
Keesokan harinya adalah hari pemakamannya. Mobil yang kami gunakan bergerak membawanya menuju kampung halamannya. Di sanalah dia akan dimakamkan. Di tempat itulah, kami kembali mengeluarkan berliter-liter air mata, menyaksikan orang beramai-ramai menutupnya dengan tanah. Hingga nisannya tertancap, ribuan duri menancap luka, jutaan duka menghimpit hati.
Subscribe to:
Posts (Atom)