Tidak banyak cerita tentangnya dalam hidupku. Ketika aku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, dia meninggal di hari kedua hari raya Idul Fitri. Aku masih sangat kecil untuk hidup hanya bersandar pada bunda. Bunda yang sungguh setia cinta dalam hatinya. Bunda yang hidupnya jatuh hati pada setiap sendi hidup Ayah. Bunda yang setiap suku katanya adalah gambaran seni kasihnya juga pada Ayah.
Senyum bunda manis tak terperikan. Kepalanya dibalut jilbab menyiratkan kemenangan bagi dirinya sebagai perempuan atas agama, iman, dan dunianya. Bunda lebih dari segala-galanya sang rembulan, permata hati. Hidunnya tinggi. Bibirnya tipis. Walau hatinya tak selalu semanis malaikat, bunda menggambarkan kecantikan berlipat-lipat.
Hati bunda masih tertusuk duri. Hubungan kami tergambar dari sorot mata dan gerak-geriknya yang sedingin es. Semangatku tiarap. Aku gelap mata memandang masa depanku dan adik-adikku. Aku hilir mudik lalu terjepit mencari perhatiannya.
Aku berketetapan hati menulis sebuah surat untuknya, mengakhiri kemacetan yang menjebak hidup kami.
Mencoba menyentuhmu, Bunda..
Jalan hidup itu lurus, biasa menikung, kadang menanjak, bisa menurun, mengambang, mengesankan, dan ujungnya bisa menikam. Hidup pastinya berliku, dihiasi deretan kebahagiaan berselang-seling dengan kepedihan garis takdir.
Bunda bisa saja memilih untuk runtuh dan padam, namun ada kami bersedia memantik bara untuk saling menguatkan. Kami terapung-apung dalam rengkuhan hidup penuh lautan pilu. Kami butuh Bunda mengantarkan kami ke dermaga.
Cinta kami untukmu, Bunda. Selalu.
Matanya berair hingga kulihat serpihan-serpihan cahaya melesat-lesat di bola matanya. Lalu air matanya meleleh. Dia merubungku penuh kasih. Dia terharu, hatiku gemuruh. Nafasku macet. Rasa pahit mencengkeramku seperti mengunyah getah, lalu tiba-tiba Bunda datang menyuguhkan madu untuk memulai kebahagiaan, lalu menggandengku untuk belajar bersama menguatkan diri.
***
Bundaku tak ubahnya meletupkan cita-cita agung pada ku, Adela, Uga, Arez, dan Mikha, saat batinnya mendidih sekalipun. Seringkali bunda mendapati nenek sedang memarahi kami karena tak satupun dari kami yang tergerak tangannya melakukan pekerjaan rumah tangga. Bunda lalu datang menghampiri dengan sayap-sayap malaikatnya berkata “mereka tidak kubiarkan untuk melakukan pekerjaan itu karena tugas mereka menjadi anakku adalah menghirup candu ilmu. Aku ingin mereka berkompetisi dengan anak-anak lainnya yang masih memiliki ayah. Tak akan hentinya aku membisikkan mimpi di telinganya hingga mereka mampu buktikan bahwa kehilangan seorang ayah tidak membuat mereka kekurangan pendidikan. Kehilangan ayah telah menjadi beban berat bagi mereka menghadapi dunia, jadi tak akan ada pekerjaan rumah yang kubebankan padanya. Anak-anakku butuh waktu dan kerja keras untuk mengukir prestasi dan menjadi anak-anak yang sukses. Sekuat tenaga aku berusaha memenuhi tugasku menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka karna aku tak ingin mereka merasa berbeda dengan yang lain hanya karena mereka tak punya ayah. Dan akan kucukupkan kasih dan sayangku hingga mereka merasa hidup mereka tetap sempurna.”
Hati bunda benar-benar keras seperti tembaga. Kata-katanya berkilauan walau kusadar setiap katanya tersirat luka yang dalam kehilangan ayah. Kata-katanya benar-benar menusuk pori-pori. Nenek lalu dihantam penyesalan yang membuatnya menundukkan wajah lalu pergi meninggalkan kami. Aku yakin apa yang kurasakan dan pikirkan sama dengan apa yang memenuhi hatinya saat ini. Haru tak dapat kutahan melihat betapa putihnya hati bunda. Aku bersumpah untuk menjadi anak yang baik dan cerdas yang seluruh cinta kubentangkan padanya sepanjang rentang waktu dan ruang-ruang.
Bunda mengajariku menyusun mimpi-mimpi, menjadi manusia yang moralnya terus meningkat, bunda menumbuhkan sayap-sayap kecilku, menyatukan kepingan-kepingan hidupku menjadi sosok mandiri.
Kekuatan bunda menjalani kenyataan mimpi berpijar-pijar dalam istana kami. Kadang serentetan bahasanya menampar hati, sepelemparan batu kesal memercikkan riak-riak keemasannya. Saat marah, nada-nadanya riang bereskalasi. Ketulusannya tak terukur. Kasihnya terburai-burai, bertumpah-ruah. Bundaku bergelimang pesona menandingi konstelasi galaksi.
No comments:
Post a Comment