Pantai,
pasir, langit, dan senja adalah pengalaman dari ingatanku yang tersisa tentang
kepergian ayah. Aku terbalut sakit dan trauma. Sakit karena kehilangan yang ku
alami.
Daniel Gottlieb
dalam bukunya Letter to Sam pernah mengatakan bahwa rasa sakit, bahagia, benci,
bahkan cinta adalah emosi yang sifatnya transisional. Emosi itu datang, lalu
pergi, sesekali melejit, membakar, lalu padam.
Gotlieb
benar, yang aku butuhkan adalah waktu karena emosi terhadap kehilangan mendalam
yang aku rasakan belasan tahun yang lalu sifatnya tidak akan abadi.
Tahun
2009 adalah tahun dimana aku merasakan emosi akan kehilanganku mereda. Tahun dimana aku melepaskan diri dari
rasa takut akan laut. Tahun dimana aku memberanikan diri menantang traumaku. Tahun
pertamaku menginjakkan kaki di atas pasir pantai Bira. Sungguh, ini adalah
sebuah pertarungan besar dalam jiwaku.
Kurasakan,
sesekali angin mengusikku dengan aroma garam yang menyengat. Aroma yang
kembali menarikku merasakan emosi yang telah padam. Menakutiku dengan
bayang-bayang ombak yang menghantam kapalku.
Ada bahagia
hati kecilku berbisik, aku hebat telah membuka tirai yang memisahkanku dari
sisi dunia terindah. Yang kupuja-puji. Yah inilah, pantai, laut, dan langit.
Sisi dunia yang paling menggodaku, yang membuatku jatuh cinta. Di pantai Bira
itu, kurasakan diriku jatuh cinta dengan semua fenomena alam yang berparade di
depan mataku saat itu.
Kubiarkan
kakiku melangkah, selangkah demi selangkah. Aku terus melangkah. Lalu sesekali
aku berhenti dan membalikkan badan. Dan kulihat jejak kakiku di pasir-pasir
itu. Sungguh aku tak percaya atas apa yang telah kulakukan. Sesekali aku
bertanya “aku kah ini?” sulit rasanya untuk menjawabnya. Kubalikkan kembali
badanku, menghadap laut dan kembali berjalan. Kulihat angin menggoda ombak dan
pasir untuk memperbarui diri. Sungguh anggun mereka bergerak. Dan yah, mereka
cantik.
Saat
matahari telah duduk di puncaknya, aku dan sahabatku memutuskan untuk
mengunjungi Tana Beru. Tempat dimana aku belajar budaya masyarakat di tanah
itu. Tempat dimana aku ditarik menyelami rupa budaya, nilai, keyakinan, dan mimpi.
Dan tempat dimana kusaksikan orang-orang mencurahkan jiwanya ke dalam sebuah
maha karya. Sebuah kapal bernama phinisi.
Kusisiri
setiap lekuk badan phinisi yang terbuat dari kayu. Aku takjub dengan
keanggunannya. Aku takjub dengan mimpi besar orang-orang di tanah ini yang
mereka bangun atas budaya dan nilai yang digenggamnya.
Sungguh
phinisi ini cantik. Dua tiang layarnya berdiri dengan angkuhnya. Tujuh layarnya
terbentang seakan menantang tujuh samudera untuk diarungi. Lunasnya dihadapkan
ke timur laut yang ditopang dengan dua tunas yang mewakili simbol anak adam dan
ais. Inilah phinisi yang selama ini hanya hidup dari bayangan miniature yang kulihat di pertokoan.
Seorang
punggawa (gelar bagi orang lokal yang
dipercayakan untuk membacakan mantera dalam sebuah ritual) menghampiriku, membawaku
tenggelam dalam sejarah maha karya ini diciptakan oleh Sawerigading menjadi
saksi perjalanannya menuju Tiongkok untuk meminang We Cudai. Maha karya yang
lahir untuk menghentakkan lautan, menggetarkan dunia, meninggalkan derap kagum
dalam hatiku atas kelahirannya dan atas kisahnya.
Kisah
phinisi dalam pemahamanku adalah seperti angin yang datang, pergi, dan disusul
dengan angin lainnya. Phinisi yang diciptakan oleh Sawerigading saat itu lahir sebagai
karya, lalu menjadi kapal yang menjelajahi dunia, kemudian terberai disapu ombak. Namun, kelahirannya telah menginspirasi dunia
dan menyisakan ragam nilai untuk dipadankan dengan budaya, bahkan ritus.
Ritus
yang disematkan dengan teguh atas setiap kelahiran phinisi dikenal dengan ammosili dan appasili. Ritus yang dimulai saat gelap, saat jutaan bintang
bersinar, mengindahkan langit. Ammosili
lahir dari rahim keyakinan bahwa doa, pujian, dan harap adalah senjata ampuh
yang memproteksi diri dari musibah. Ritus ammosili lalu dilanjutkan dengan appasili yaitu peletakan lunas di pusat
kapal. Appasili sesungguhnya adalah
metafora kelahiran anak yang lalu diputuskan tali pusarnya dan dinyatakan siap
untuk merasakan dunia dan menjumpa ragam hidup.
Kedua
ritus tersebut adalah representase budaya, nilai, dan keyakinan yang dibangun
dan diabadikan dalam masyarakat di tanah ini. Phinisi adalah konstruksi
mimpi besar orang-orang di tanah ini untuk menyelami rupa-rupa petualangan,
mimpi untuk berparade dan berpencar ke arah yang tidak tereka. Karena jiwa dan
darah bugis Makassar adalah merantau, phinisi adalah jiwa yang
membawa mereka menjalani mimpi-mimpi besar.
Entah
karena mimpi besar orang-orang di tanah ini atau karena keteguhan mereka, tak
sedikit turis asing yang terkagum-kagum bahkan memesan phinisi dari mereka.
Phinisi yang lahir dari nilai, budaya dan keyakinan itu dihargai milyaran
rupiah. Nilai yang sepadan untuk sebuah kerja keras.
Pikiranku
lalu menarikku untuk kembali mencermati peristiwa-peristiwa dimana nilai-nilai
budaya dikesampingkan. Dipandang sebelah mata. Dinilai sebagai sebuah diagnosis,
sebuah masalah. Kadang hanya dilirik. Tidak diakui. Dianggap primitif. Lalu
ditinggalkan.
Namun
phinisi lalu lahir sebagai mozaik untuk mematahkan semua pandangan-pandangan
itu. Sebuah mozaik yang membuktikan bahwa budaya yang terkandung dalam lubuk tanah
ini adalah lubuk kekayaan yang sesungguhnya. Dan atas kelahirannya, phinisi
menjadi arti, nilai, dan bahkan jiwa bagi negeri ini. Sebuah arti yang telah
dinilai oleh negeri di luar sana. Dan aku tidak sabar menantikan orang-orang di
negeri ku Indonesia merasakan arti menjadi luar biasa dengan menyandang kultur
dan nilai dalam lubuk negeri ini.
Sekali
lagi kurasakan jantungku meletup-letup ketika kembali kusisiri badan phinisi. Kuakui, kehadirannya menambah kualifikasi cantik
tanah ini. Dan phinisi itu benar-benar membuatku merasakan bangga yang tak
terhingga menjadi bagian dari tanah, pulau, dan negeri tumpah darahku.
Sungguh atas nama hidupku, tak ada mozaik seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan berbangga atas budaya, nilai, dan keyakinan yang menjadi roh tanah ini, mozaik negeri ini.
Sungguh atas nama hidupku, tak ada mozaik seindah itu bagi jiwaku untuk mempelajari apa artinya menjadi manusia dan berbangga atas budaya, nilai, dan keyakinan yang menjadi roh tanah ini, mozaik negeri ini.